 |
Image taken from here. |
Sejak dua tahun terakhir, mahasiswa Indonesia di Mesir (Masisir) banyak yang pakai cadar. Sebenarnya mungkin sudah banyak dari dulu, tapi dulu kan belum ada Instagram Stories, jadi gak ada yang narsis-narsis bercadar. Hari ini, mencari Masisir bercadar bukan sesuatu yang sulit. Di jalan, di warung makan, di kekeluargaan, di bis, di pasar, di mal, di manapun. Barangkali ada satu gerakan yang saya lewatkan, yang membuat banyak akhwat berbondong-bondong memakai cadar. Kawan saya bilang, cadar itu bikin wanita jadi lebih cantik dan lebih bikin penasaran. Apalagi kalau pas khitbahan, pas dibuka cadarnya, ada merah merona yang disembunyikan, ada senyum malu-malu gitu, kan so sweet gimana ... Kalo misalnya ternyata di balik cadar itu berkumis dan berjanggut? Nah loh ...
Fase seorang perempuan yang asalnya berkerudung biasa lalu berubah memakai cadar, adalah seperti fase seorang perempuan tak berhijab lalu memutuskan menggunakan hijab, setidaknya bagi saya. Alasan mereka yang becadar karena alasan syariah adalah juga seperti alasan mereka yang berkerudung karena alasan syariah. Saya punya teman-teman yang lepas-pakai kerudung di dunia nyata dan di foto-foto sosial medianya. Ketika tahu alasan mereka berkerudung adalah untuk gaya dan trend, saya membawa mindset itu ketika bertemu dengan akhwat yang lepas-pakai cadar.
Mari kita kesampingkan orang-orang bercadar karena alasan syariat, karena blog ini bukan situs konsultasi fikih. Mari kita ghibahin sisi lainnya. Jadi jika kamu bercadar benar-benar karena alasan syariat, harap tidak tersinggung oleh opini ini.
Ada beberapa alasan lain untuk memakai cadar di Mesir. Pertama, karena banyak debu. Saya sendiri sering bawa masker ketika berangkat ke beberapa tempat untuk menghindari debu. Saya pernah nyoba pake cadar barang jualannya temen serumah, jadinya malah kaya ninja hatori, jadi lebih baik masker aja. Banyak akhwat pakai cadar di luar ruangan karena alasan debu, atau menghindari penyakit, dsb.
Kedua, supaya tidak "diliatin" orang Mesir. Banyak akhwat yang memakai cadar hanya di luar ruang, tapi melepasnya ketika bertemu sesama orang Indonesia. Hal sama yang saya temukan ketika ikut sebuah acara di Kedutaan Malaysia. Hampir semua perempuan bercadar melepas cadarnya di dalam area kedutaan karena katanya "area aman".
Ketiga, biar gaya. Jika bukan alasan syariah, bukan karena banyak debu, atau bukan karena menghindari tatapan nakal orang Mesir, bisa dipastikan karena alasan gaya, ikutan temen, gak enak temen serumah cadaran semua, atau biar lebih greget di foto agar lebih terkesan "lagi belajar di timur tengah".
Saya menghargai mereka yang bercadar karena alasan apapun. Setiap orang punya hak untuk menjalani hidupnya dengan cara masing-masing, selama tidak ganggu hidup saya. Simpel kan? Dalam urusan cadar ini, saya hanya sedikit menyayangkan ketika bertemu dengan teman-teman bercadar yang katanya karena alasan syariah, tapi parfumnya wangi banget, ketawanya ngakak, atau "terlalu" berbaur dengan lawan jenis yang jelas-jelas bukan sodara kandungnya. Ih, kok ana kaya akhi-akhi gini ya?
Tapi ini serius. Jadi perempuan dalam urusan aurat, apalagi dari kaca mata orang pesantren, memang serba salah. Semua yang dilakukan perempuan bisa jadi aurat bagi laki-laki. Nisa Sabyan yang bikin gemesin itu memang nyanyi bawain lagu-lagu religi, tapi gak tau kenapa kok ngerasa gak afdhol kalau cuma didenger tanpa liat video klipnya. Sama kaya lagu-lagunya Isyana, Via Valen, kesempurnaan makna hanya akan diraih jika dilihat lengkap dengan video klipnya. Suara yang merdu, ucapan-ucapan manja, tatapan yang manis, senyuman memikat, jalan gemulai, semuanya memungkinkan untuk jadi aurat. Dalam kondisi diam pun, kalau parfumnya memikat, bisa jadi sesuatu juga. Terminologi aurat dalam konteks ini bukan lagi hanya selain wajah dan telapak tangan, tapi lebih luas lagi. Apakah hanya perempuan? Tentu saja laki-laki juga bisa jadi sumber fitnah. Tapi tentu saja itu bahasan lain di luar topik kali ini.
Parfum itu adalah salah satu contohnya. Bagi saya, fungsi perempuan menggunakan parfum adalah supaya kehadirannya bikin nyaman orang-orang di sekelilingnya. Misalnya musim panas di dalam bis, dalam kondisi desak-desakan pasti berkeringat banyak, apalagi buat perempuan yang pakaiannya dobel-dobel gak sesimpel laki-laki. Tanpa parfum, ada kemungkinan bau badan rembes keluar dan tercium orang sekeliling. Maka, di sana lah parfum berperan. Jika tujuannya lebih dari sekadar menyamankan eksistensi, maka jadi mudharat bagi yang mencium aromanya. Teman saya pernah nulis status whatsapp, "cadar sih cadar, tapi parfumnya kok nyerempet idung sampe masuk tempatnya qolqolah ya?".
Saya tidak menguasai Ilmu Fikih, jadi rasa-rasanya agak takut untuk menuliskan tentang ini. Tapi begini: sebagian ulama mewajibkan cadar untuk perempuan, sebagian lainnya sunnah. Bahkan ada yang berasumsi sebatas budaya saja. Dalam hal ini, saya berada di barisan sunnah karena beberapa pertimbangan, tapi tetap merasa wajib dalam beberapa pertimbangan. Misalnya ada perempuan yang karena kecantikannya (yang bahaya adalah cewek cantik yang sadar bahwa dirinya cantik), ia jadi sok syantik dan lagi pengen dimandja tiap ketemu lawan jenis. Mending kalau lawan jenisnya saleh dan berkeimanan kuat seperti Izzudin Syamsuri, godaan apapun bisa ditahan. Kalau bukan Izzudin, pastilah tergoda, bahkan cuit-cuit menggoda. (Izzudin adalah satu-satunya cowok normal yang kalau lewatin Victoria Secret, tatapannya akan tetap tunduk, bahkan keinginan untuk nengok pun tidak pernah terbersit sedikit pun di hatinya). Perempuan yang cantik-sok-cantik ini perlu dicadari, dengan harapan agar cadarnya itu menjadi benteng supaya ia tetap terjaga dalam iffah dan izzahnya.
Suatu hari saya dan teman saya baru selesai menunaikan magrib di masjid dekat Wisma Nusantara. Di sepanjang jalan Masjid-Wisma yang jaraknya 50 meteran, ada banyak sekali Masisir berkoloni, karena waktu itu PPMI mau bagiin musa'adah (sembako gratis). Sambil jalan, di samping saya ada tiga orang laki-laki yang tiba-tiba disapa oleh dua akhwat bercadar dari jarak yang masih membutuhkan sedikit teriak untuk menyapa orang. Lalu jarak semakin dekat dan mereka nampak semakin akrab. Mungkin sealmamater, pikir saya.
"Tadi siang ke mana aja? Dicariin, loh!" kata si ukhti, sambil memberi pukulan manja ke lengan salah satu cowoknya. Pukulan manja atau sentuhan manja, bebas lah. Dalam hati dan pikiran, saya jadi bertanya: Ih naha kitu? Kan nanyanya bisa tanpa harus noel-noel gitu? Biar gak buruk sangka, saya tutup magrib itu dengan asumsi, mungkin mereka sodaraan.
Setelah magrib itu, saya nginep di Wisma dan seperti biasanya bahwa tiap nginep di Wisma, saya hampir selalu bertukar curhat dengan Mang Badar atau Mang Aduy. Lalu nyambunglah curhatan malam itu dengan momen seorang laki-laki yang ditoel ukhti bercadar abis magrib. Katanya, orang Wisma pernah nyuruh pulang (untuk tidak mengatakan mengusir) akhwat yang nyetel musik di aula, nyanyi-nyanyi dan joged-joged, padahal sebagian dari mereka bercadar. Mungkin kalau nyanyi dan jogednya dalam silent mode gak akan disuruh pulang, tapi karena berisik jadinya begitu. Pengusiran ini memang karena faktor berisiknya, tapi karena mereka bercadar, pemaknaannya jadi lain, kan? Kayanya saya menemukan terminologi baru soal cadar zaman now. Joged sambil cadaran atau muamalah manja dengan lawan jenis barangkali memiliki penafsiran bahwa squad cadar swag itu ada, loh! Anak cadar juga bisa gahooll!
Teman saya pernah cerita begini, ada Masisir cadaran yang pacaran. Mereka sering jalan bareng, makan bareng, kemana-mana bareng. Kalau malam sering dianter pulang. Pas kepergok dan dibilang pacaran, mereka jawab "nganter pulang demi keamanan". Berak aja sekebon! "Lucunya nih, Mang, mereka berdua makan, itu cewek cadarnya dibuka. Lah pas gua dateng, dia langsung nutup cadarnya. Gua ama pacarnya apa bedanya? Sama-sama bukan muhrimnya, ya kan?"
Kalau ngumpul dengan jomblo-jomblo yang teman seangkatannya banyak bercadar, saya sering dapati cerita-cerita lucu soal mereka. Seringnya bikin ketawa, tapi di waktu bersamaan juga miris dan aneh. Yang pernah saya alami, misalnya begini: sebagai orang visual, saya punya kelemahan dalam mengingat nama orang. Lebih mudah ngafalin muka dibanding harus nginget nama. Di KPMJB, saya hampir tidak kenal satu pun akhwat bercadar, kecuali empat orang. Yang satu adik kelas saya, satu lagi karena matanya unik, satu lagi karena badannya bongsor, satu lagi karena suaranya kaya anak kecil. Suatu hari saya ketemu ukhti bercadar yang bukan dari empat orang itu lalu dia bilang, "Kakak sombong banget sih tadi pas ketemu di Musalas, meni gak kenal gitu sama aku". Lah ini saya harus gimana? Kamu pakai cadar dan kita papasan di jalan. Butuh usaha keras untuk masukin nama kamu di otakku, dek. Saya hampir pasti tidak pernah menyapa teman-teman yang bercadar, karena selain alasan tidak kenal, cadar di pikiran saya adalah privasi seseorang. Maka, bagi yang bercadar dan kenal saya atau siapapun, jika ketemu di jalan dan tidak disapa, tolong harap maklum. Apa daya bagi kami yang hanya bisa menghafalkan nama kalian hanya dari bentuk mata saja, karena bentuk yang lain tidak diperbolehkan. Kalau mau sering-sering disapa, boleh lah sesekali pakai cadar transparan. Keknya keren juga ya ...
Saya menulis hal ini karena barangkali stigma saya soal cadar masih sangat murni dan konservatif. Ketika kamu bercadar, maka saya akan menafsirkannya sebagai ukhti solehah yang ngajinya minimal satu juz sehari, tidak suka ngegosip, tidak genit, dan yang utama adalah tidak pacaran. Beberapa orang pernah saya tanya tentang status mereka ketika kepergok jalan sama cowok, tapi malah bilang "kita gak pacaran kok, cuma temen dekat aja", atau "kebetulan bareng aja jadi kita barengan jalan" atau alasan-alasan receh lainnya. Tapi seiring berjalannya waktu dan bertemu berbagai tipe orang bercadar, stigma itu mengalami perubahan: cadar juga bisa buat gaya. Mungkin ke depannya akan ada ukhti bercadar yang main Tiktok dan joged-joged. Tetteww ....
Saya memang pernah punya stigma negatif terhadap perempuan bercadar, khususnya pada suatu hal yang penah saya alami. Tapi stigma itu telah lama berubah, sejak membaca sebuah tulisan antah berantah tentang bedanya Islamophobia dan Wahabiphobia. Seringkali kita merasa benci, takut, khawatir, atau tidak suka pada sesuatu lantaran ketidaktahun kita akan hal tersebut. Hal itu yang membuat saya belajar bahwa saya tidak boleh dengan mudah menfatwa orang hanya karena tampilannya saja. Misalnya saya pernah punya stigma negatif terhadap perempuan penari perut di Mesir. Kesannya bukan orang berpendidikan, bukan "perempuan baik-baik", pokoknya gak terlalu baik lah. Sampai akhirnya suatu hari saya nemu sebuah blog yang ditulis oleh seorang belly dancer. Dia orang Amerika yang sedang S3 di Oxford, dapat beasiswa penelitian ke Mesir untuk menyelesaikan disertasinya tentang perkembangan belly dance di Mesir. Saya menikmati betul tulisan-tulisan di blog pribadinya. Diari mengalir soal Mesir, pekerjaannya, dan sudut pandang seorang women foreign belly dancer terhadap suatu hal. Mulai dari pandangan politik, agama, cross cultural, sampai definisi sexual harassment menurut seorang penari perut. Pengalaman bertemu dengan blog belly dancer ini mengurangi stigma negatif yang saya miliki soal mereka, meskipun apa yang ia lakukan adalah topik lain lagi tentunya.
Sebenarnya saya cuma mau bilang bahwa bercadar atau enggak, itu pilihan kamu. Yang penting, cadaran atau tidak, akhlakmu tetap baik, adab tetap terjaga, dan tetap jadi muslimah manis yang dikenang siapapun bukan karena kegenitan dan wangi parfumnya, tapi karena isi kepala dan cahaya imannya. Itu aja sih. Ada tambahan lain?
11 Juni 2018
menjawab pertanyaan selama ini tentang fenomena cadar
BalasHapusTerima kasih sudah berkunjung ;) kalau ada salah, dg senang hati menerima koreksian
HapusSiap, kak
HapusAku baca dulu ,ya
Thanks for your sharing..
BalasHapusYou re warmly welcome ;)
HapusSudut pandang yang bagus. Gelar tikar dulu ah.Bentar lagi pasti rame ni lapak dan hadis hadis pun berseliweran.
BalasHapusAlhamdulillah nemu tulisan bagus yang sejalan sama skripsi yang sedang ditulis. Isi kepala seperti sudah diwakilkan dengan baik :) Jazakallahu khair, mas.
BalasHapusHahha mantap uy, seJalan sama saya
BalasHapusLike like
Suka baca tulisannya mas. Berimbang :). Saya sendiri ga phobia ttg cadar, walo pernah juga ada pengalaman jelek ama wanita bercadar. Tapi ya sudahlah yaaa, saya anggab yg seperti itu habya oknum. Saya ga mau nyamain semua wanita bercadar seperti itu.
BalasHapusYang perlu diingat, masih ada yang bercadar lillah Lo. Temen saya Istikomah dan memenuhi syarat bercadar.
BalasHapusKalau boleh nambahin, sebenarnya cadar perempuan Malaysia/Indonesia/tailaTha itu (menurut orang Mesir yg bercadar) masih belum sesuai syarat bercadar. Menurut mereka, bercadar adalah menutup seluruh wajah kecuali matanya. Jadi alis juga harus tertutup. Nah saya pernah ngasih tau akhwat yg bercadar setengah muka agar menutupi seluruhnya tapi g diikuti, entah apa alasannya.
Sebenarnya di kampus misriyat itu sering negur, bahwa cadaran yg benar itu bukan setengah wajah. Jadi kadang malu kalau ditanya kenapa temen2 kamu cadarannya begitu? Kalau ga tau, kami kasih tau..
Nah, yg saya maksud yg Istiqomah adalah yg sesuai syariat bercadar. Menutup alisnya, tidak dibuka dimanapun selama ada laki2 yg pasti bukan muhrim baik sesama Indonesia nya atau ajnabi. Jadi kasian sama mereka..
Akhirnya.... ada juga yang angkat fenomena ini.
BalasHapusSeneng banget...
Keresahan-keresahan ku yang selam ini terjawab juga.
Selama ini aku juga resah akan hal ini. Banyak yang perempuan bercadar "sekarang ini" tapi gak semua juga. terkadang masih ada yang bicaranya ceplas-ceplos, juga sering bercandaan sama lawan jenis, ada yang bercadar dengan gaya yang macem-macem yang membuat menarik perhatian orang. Padahal kan cadar itu untuk privasi diri. Yang seperti ini saya sering liat langsung di kampusku.
Ya, aku tau semua orang itu pasti berproses untuk menjadi yang baik. ada juga biasanya temen-temen kampus yang ketawanya ngakak dan bicaranya nyaring bgt, padahal dia bercadar. ketika melihat yang kayak gini-gini nih aku merasa aneh aja kok bisa ya kayak gitu.
Jadi yang kayak gini nih yang mematahkan pandangan cadar yang sebenarnya sangat dipandang baik selama ini. jadi gak nggeh kalau menilik ke fenomena sekarang ini.
terkadang ingin negur teman-teman yang kayak gitu. gak kuat nyali aku. takutnya nanti malah runyam. bisa-bisanya negur orang yang bercadar padahal aku gak cadaran.
Ntapp.. .Mang..
BalasHapusMantap mang, kadang pengen jg negur tp blom kesampean hehe. Lanjutkan mang
BalasHapusMantap mang, kadang pengen jg negur tp blom kesampean hehe. Lanjutkan mang
BalasHapusWuww
BalasHapussekali sekali bahas sebab terjadinya pacaran dimesir ini dong
BalasHapusWah sejuk. Bagaimana jika cadaran tapi belum bisa ngaji.apa cadarannya nunggu kalo dah pinter 1 jus sehari?
BalasHapus