 |
Gambar diambil dari sini. |
Saya sebenernya udah taubat dari julid-julidan, karena kata Marini, ciri haji mabrur harus menjaga lisannya dari nyinyir dan julid. Tapi saya gak ngapa-ngapain aja, perjulidan duniawi masuk japrian otomatis! Informan di mana-mana, dan akhirnya saya jadi sepakat dengan Megong bahwa julid harus terus dilakukan agar otak tetap bekerja dan pisau analisis semakin tajam.
Urusan mahasiswi di Mesir memang topik yang selalu menarik untuk dibahas, meskipun punya resiko yang luar biasa kompleks. Dulu pernah rame ada bahasan mahasiswi yang wisuda make make up menor, lalu ada juga bahasan mahasiswi yang tampil nari tradisional di HUT kekeluargaan, disusul oknum ughte-ughtea bercadar yang akhlaknya harus masuk bengkel, dan sekarang ada mahasiswi tiktokan di jalan. Ada mahasiswanya juga, tapi kan kita lagi semangat bahas mahasiswi.
Biar rada ilmiah, saya akan mulai dari sini.
Ketika pertama kali masuk UIN Bandung, dulu saya berpikir bahwa semua mahasiswa di kampus itu haruslah Islam dan Islami. Semuanya harus muslim dan semuanya harus menjadikan Islam tidak hanya sebagai kajian studi tapi benar-benar diposisikan sebagai sebuah agama, sebuah nilai, sebuah gaya hidup, sebuah jalan hidup. Perempuannya harus berkerudung semua, laki-lakinya rajin solat, bahkan tidak ada ayam kampus. Dugaan itu tak lama kemudian terpatahkan ketika tahu ada juga mahasiswa non-muslim yang belajar di lembaga itu, ada juga yang tidak berkerudung, ada juga yang tidak solat, dan ada juga ayam kampus. Pandangan itu jadi seimbang ketika saya juga punya beberapa teman muslim yang berkuliah di kampus non-muslim, misalnya Universitas Katolik Parahyangan, atau STT Tekstil yang dikenal mahasiswa muslimnya minoritas.
Salah satu dosen saya, kalau tidak salah ingat namanya Dr. Irawan, pernah bilang bahwa segala sesuatu yang terjadi di dalam perguruan tinggi haruslah dianggap sebagai objek studi. Semuanya menjadi proses belajar, proses kajian, percobaan, observasi, dan hanya yang berhasil-berhasil saja yang seyogyanya boleh keluar kampus alias masuk ke dalam masyarakat. Misalnya mahasiswa teknik bikin mobil listrik, maka mau mobilnya itu mogok, macet, bahkan meledak sekalipun selama terjadi di dalam kampus menjadi sesuatu yang sah, dan masyarakat luar kampus tidak semestinya intervensi atas proses yang kacau itu. Setelah mobilnya berhasil dan layak pakai, barulah menjadi produk yang siap diterima masyarakat. Nah, bagaimana jika yang menjadi 'mobil' itu adalah agama?
Lanjutnya, agama di dalam kampus seyogyanya dianggap sebagai kajian studi. Urusan mahasiswa dan dosennya menganut agama itu atau tidak, adalah perkara lain. Di kampus, agama dikaji dengan kaca mata yang objektif, hadir sebagai materi pembelajaran, bahkan mungkin saja teori-teorinya harus diuji dengan kajian empiris tanpa adanya tuntutan ajaran-ajarannya harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya tak heran jika di jurusan kuliah keislaman ada juga mahasiswa Budhanya, Kristennya, atau di kampus Kristen ada banyak mahasiswa Muslimnya. Bahkan dalam ruang yang lebih besar, Oxford dan Harvard pun punya Islamic Studies yang mungkin isinya orientalis non-muslim sebagai mayoritas.
Lalu bagaimana dengan Azhar? Apakah non-muslim boleh kuliah di Azhar? Apakah kuliah di Azhar boleh mempelajari Islam hanya sebagai kajian studi? Apakah mahasiswa Azhar harus Islami dan Azhari?

Sejauh yang saya tahu sayangnya non-muslim tidak bisa belajar Islam di kampus Azhar, padahal notabene salah satu pusat studi Islam di dunia. Kita bisa temukan itu misalnya di website
informasi penerimaan mahasiswa asing, secara jelas di sana tertulis syaratnya harus Muslim. Atau di website Kulliyyah Ulum Islamiyah yang menurut saya seyogyanya siapapun bisa belajar Islam di sana, juga mensyaratkan harus muslim. Bahkan kalau kita lihat diktat kuliah di Azhar dengan seksama, semua materinya memang diarahkan untuk seorang muslim yang belajar Islam dengan orientasi agar ajaran itu diterapkan di kehidupan sehari-hari. Buku Balaghoh yang membahas ilmu bahasa saja, dari teori sampai contohnya semuanya hampir selalu menggunakan ayat Alquran, tidak 'senetral' kampus orientalis/liberal (lihat misalnya buku Balaghoh di jurusan Bahasa Arab AUC) yang menurut saya lebih ramah bagi pembelajar bahasa tanpa embel-embel nilai agama. Ekslusivitas ini menunjukkan bahwa Azhar bukan universitas yang terbuka bagi no-muslim yang ingin belajar Islam, dan tidak terbuka untuk mahasiswa yang ingin belajar Islam hanya sebagai mata kuliah. Ekslusivitas ini juga mungkin membuat banyak orientalis non-muslim yang pada akhirnya belajar Islam dari sesama non-muslim, dari sumber-sumber yang ditulis oleh non-muslim, dari sumber dan lingkungan yang lahir dari institusi yang menjadikan Islam hanya sebagai objek studi, bukan agama.

Karena kondisinya begitu, kehadiran mahasiswa Indonesia di Mesir pun tidak bisa hanya mengategorikan belajar di Universitas Al-Azhar hanya sebagai mahasiswa yang mempelajari Islam, tapi juga harus menerapkannya. Ada tuntutan lebih yang bersandar di pundak-pundak mahasiswa Azhar, bukan hanya beban akademik yang datang dari materi pelajaran, tapi juga harus menerapkan materi-materi keagamaan itu sebagai nilai yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Saya ingat suatu hari seorang teman serumah pernah bertanya ke Mang Utay, kenapa kuliah di Azhar gak boleh berpikiran wahabi? Kenapa harus wasathi? Padahal kan yang namanya mahasiswa boleh berpikiran bebas dan menemukan kebenaran bukan hasil didikte? Jawaban sederhananya Mang Utay, karena kita masuk ke rumah orang lain yang kebetulan pemilik rumahnya punya aturan ini dan itu. Mungkin kalau berkunjungnya ke 'rumah' lain pada umumnya, kita bisa bebas ngapain aja dan berpikiran apa aja. Tapi sayangnya 'rumah' bernama Azhar dan Mesir ini punya aturan main sendiri. Bahkan menulis jawaban "Allah di langit" saja bisa beresiko tidak lulus ujian Ushuluddin, alih-alih menganggap kalimat itu sebagai bagian dari proses berpikir yang mungkin saja belum final.
Tak heran ketika tahun 2019 lalu ada ada mahasiswi Azhar (WN Mesir) yang dikeluarkan kampus hanya karena dilamar cowoknya di depan gerbang kampus dan mereka berpelukan. Padahal kalau pakai logika sekilas, apa urusannya universitas campur tangan atas orang yang mengekspresikan rasa cinta dengan berpelukan? Ada aturan nilai di sana.

Menjadi mahasiswa Azhar dan menerapkan nilai Azhari saya kira sudah jadi tuntutan yang harus dijalani mau tidak mau. Anggap saja berakhlak baik di Mesir adalah sebagai konsekuensi kuliah di Azhar, jika tidak ingin menjadikan itu sebagai kewajiban dalam berislam. Maka ketika ada mahasiswa Azhar yang menurut kaca mata pembahasan di atas tidak cukup Azhari atau Islami, atau tidak cukup representatif dalam menjaga nama baik institusi, kita bisa turun mengingatkan. Poin ini baru dari sisi kampusnya, belum kita bicara soal aspek yang lain. Misalnya aspek budaya, aspek nama baik negara, etika pendatang di negeri orang, dan sebagainya. Pindah tempat dari Indonesia ke Mesir tidak hanya pindah raganya saja, tapi mau tidak mau harus sepenuhnya sadar akan adanya budaya yang berbeda, bahasa yang berbeda, tatakrama yang berbeda, bahkan cara berpikir dan pikiran yang berbeda.
Jadi apakah mahasiswi Indonesia tiktokan di jalanan Mesir, atau mahasiswa Indonesia merokok di tempat umum, adalah sesuatu yang bisa dimaklumi jika para pelakunya punya alasan "hidup gue ngapain lu ikut campur" "this is my choice, gue salah apa?"? Kita bisa tinjau itu dari sisi seberapa paham ia bisa memosisikan dirinya siapa, sedang apa, sedang di mana, dan konsekuensi apa yang akan terjadi dari perbuatannya. Bukan saja konsekuensi bagi dirinya, tapi juga bagi orang lain. Kita memang bebas dan berhak untuk melakukan apapun, tapi jangan sampai lupa bahwa hak kita ternyata dibatasi oleh hak orang lain. Misalnya Jono punya hak untuk joged-joged online di jalanan Kairo dan menjadi perhatian orang Mesir, tapi ternyata Bambang juga punya hak untuk jalan di jalanan Kairo tanpa merasa diliatin orang Mesir yang berpikiran negatif atau berpikiran aneh-aneh berdasarkan apa yang dilakukan Jono sebelumnya.
Kalau kita mengikuti perkembangan berita Mesir, pastilah tahu bahwa beberapa waktu lalu ada lima influencer Tiktok Mesir yang ditangkap dan dipenjara dengan alasan memposting video yang dinilai melanggar norma dan nilai keluarga. Apa coba ukuran norma dan nilai keluarga dalam video Tiktok? Mereka dipenjara bahkan harus bayar denda 300 ribu pound ke negara hanya karena main Tiktok. Keputusan pengadilan ini banyak menuai kritik karena katanya, penilaiannya banyak dilakukan berdasarkan anggapan norma dan budaya, bukan UU. Di luar urusan Tiktok, kita juga pasti dan harusnya sadar bahwa aktivitas Masisir di internet Mesir tidak benar-benar bebas dan bisa ngapain aja. Perlu diingat, Mesir tidak seperti Indonesia yang punya kebebasan berpendapat sehingga ekspresi apa saja bisa dituangkan. Kehati-hatian itu yang perlu jadi kewaspadaan, meskipun cuma perkara rekam joged buat Tiktok.
Setelah jadi alumni, saya jadi sering mikir tentang hal-hal bodoh apa saja yang sudah saya lakukan selama di Mesir. Ada beberapa hal bodoh yang akan terus saya simpan sebagai bahan ketawaan dan lucu-lucuan (misalnya saya pernah solat asar di fitting room City Stars, masuk McD pinggir KPMJB cuma buat numpang toilet, dll.), tapi ada juga yang bikin kita narik napas panjang dan ingin menghapusnya selamanya. Misalnya ..... gak mungkin ngaku dong ;)
Meskipun ada juga kebodohan yang paling disengaja: mencintai seseorang yang sudah tau bakal dijodohin sama murobbinya. Bagian ini entah harus masuk kategori yang disimpan atau justru harus disesali. Sulit.
Nah perkara tiktok-tiktokan dan joged-jogedan di jalanan yang lagi rame ini kira-kira kalau saya pelakunya, bakal masuk kategori kebodohan yang akan disimpan atau disesali ya? Apalagi kalau suatu hari saya duduk di depan mimbar, atau podium, lalu ada hadirin yang melihat saya dengan wawasan di kepalanya bahwa aku pernah tiktokan, kayanya bukan hal yang menyenangkan untuk dialami. Ada kalanya mendokumentasikan pikiran di blog ini pun menjadi hal yang memalukan dan tidak membanggakan, baik bagi saya sendiri ataupun orang lain. Tapi seenggaknya kebodohan nulis blog lebih faedah dari kebodohan joged-joged, ya kan? Heuehehehehe~
09 Februari 2021.
mantap mang maul 👍
BalasHapus
BalasHapusCara pendekatan dkkm ke yang bersangkutan kurang pas...
Menegur thu langsung pintu ke pintu, abis itu bikin himbauan dan edukasi buat mahasiswa yg lain.
Btw emng klo kejadian kek gini ceweknya emng slalu di salahin ya, budaya patriarki masih tinggi. Hehe
Tahu ni kek nya siapa
HapusMantep ni, kudu selaras semua akhlak dan perilaku kita (dalam ranah syariat).
BalasHapusTentang tiktok cewe yg meresahkan, sebenarnya yg cowo pun ada cuman bentukannya ga joged. Ada yg challenge ga jelas lah ke org mesir, padahal keliatan di videonya risih. Rasa kecewa aja gitu, datang kesini malah pansos jadi mahasiswa LN. Padahal kita punya banyak nama baik yg kudu dijaga; Azhar, Indo, Daerah dan keluarga.
Keren banget
BalasHapusSemoga kita semua ditutupi aib aibnya sama Allah, dan terhindar dri hal yg tdk berkenan... Aamiiin
Salah dan mengaku salah kemudian instrospeksi diri, cuma itu yang kami mau dari para tiktoker.
BalasHapusBang, mungkin bisa ditambahkan cara mengingatkan yang baik dan benar. Soalnya kmrn sepaham saya cara dkkm masih kurang tepat dalam hal ini. Jadi dalam hal ini tidak hanya dari sisi mahasiswi yang tik-tokan bang.. Dari yang ngingetinnya juga kurang loh. Agar para pembaca gak memandang sebelah mata dari segi permasalahan hehehe.. Tapi Udah Bagus tulisannya. Mantap.
BalasHapusMantap mang, jadi pengen julid lagi nich.
BalasHapusBagus tulisannya, bermanfaat.
BalasHapusMasyaAllah Tabarakallah,
BalasHapusTulisan berkelas
BalasHapusStraight to the point 👍🏻
BalasHapus