Meja Makan Bu Febri

Ketika pertama kali bertemu Bu Febri di kantin basement kantor, Maret 2023 lalu, saya mendapati kesan bahwa ia adalah sosok yang judes, galak, dan dingin. Waktu itu Pak Ario memperkenalkan saya sebagai staf baru, dan responnya nampak biasa saja. Tidak nampak antusias, tidak nampak menyambut, biasa saja. Saat itu ia sedang menikmati menu takjil, kebetulan kami berkenalan di saat acara buka puasa bersama. Tentu saja kudapan takjil lebih menggoda dibanding berkenalan dengan staf baru ini. Setelah basa-basi pendek soal nama panggilan saya, pertanyaan pertamanya menggelegar cepat: “Lu bisa ngedit video, gak? Kalo bisa, nanti bisa bantuin Arya di Pensosbud.” Saya gak tahu jawaban apa yang ia harapkan dengan pertanyaan “bisa ngedit video”, dan saya tidak tahu siapa manusia bernama “Arya” tersebut. Apakah yang dimaksud adalah sebatas cut & trim video , atau editing sebagaimana jika ia melihat konten video Bu Retno Marsudi yang saat itu masih Menteri Luar Negeri. Waktu itu saya belum menjaw...

Refleksi Modul 1.4 Budaya Positif


Modul 1.4 mengenai Budaya positif yang harus diterapkan di lingkungan sekolah. Berawal dari gurunya sendiri yang punya energi positif untuk membangun budaya positif, modul ini punya semangat yang bagus untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif untuk siswa dan warga sekolah secara umum.

Modul 1.4 merupakan modul yang berisi tentang bagaimana membangun budaya positif di sekolah. Sekolah dituntut untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman agar para siswa bisa melakukan aktivitas belajar, berpikir, bertindak, mencipta, dan berkreativitas secara optimal secara mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab. 

Salah satu hal yang menjadi fokus sorotan dalam modul ini adalah soal relasi kontrol guru terhadap murid dalam rangka menegakkan kedisiplinan. Dr. William Glasser dalam karyanya Control Theory mengatakan bahwa guru punya ilusi mampu mengontrol murid, seolah-olah semua penguatan positif yang diberikan akan berpengaruh secara efektif dan bermanfaat. Penguatan positif atau bujukan dalam rangka mengontrol merupakan ilusi relasi kuasa bagi orang dewasa yang merasa bisa memaksa orang yang lebih muda darinya untuk melakukan sesuatu.

Pada Modul 1.4 ini, para CGP juga belajar tentang Kebutuhan Dasar Manusia untuk bisa bertahan hidup (survival), cinta dan kasih sayang (love and belonging), kebebasan (freedom), kesenangan (fun), dan kekuasaan (power). Ketika seorang siswa melakukan suatu hal yang dinilai bertentangan dengan aturan atau nilai tertentu yang berlaku, bisa dibilang bahwa siswa tersebut tengah gagal memenuhi kebutuhan dasarnya.

Seandainya ia tidak bisa mendapatkan kebutuhan dasarnya dengan cara positif, maka ia akan berusaha mendapatkan pemenuhan itu dengan cara negatif. Misalnya dengan cara mengatur siswa lain dalam keseharian (bermain bola, bermain kelompok, dll.), atau bahkan menyakiti siswa lain baik secara verbal maupun fisik. 

Dr. William melalui teori yangs ama juga mengutarakan konsep lima posisi kontrol sebagai seorang guru. Kelima posisi kontrol itu adalah Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau), dan Manajer. Seorang guru di sekolah ada pada posisi seorang Monitor dan Manajer.

Materi lainnya yang terdapat dalam Modul 1.4 adalah tentang Segitiga Restitusi. Restitusi adalah usaha untuk menebus kesalahan, akan tetapi sebaiknya merupakan inisiatif murni dari siswa yang melakukan kesalahan.

Proses perbaikan akan terjadi secara natural jika keinginan untuk memperbaiki datang sendiri dari siswa dan ia merasa menyesal/bersalah atas kekeliruannya. Fokus dalam bagian ini tidak hanya soal mengurangi kerugian pada korban, tapi juga bagaimana menjadi orang yang lebih baik lagi ke depannya. 

Modul 1.4 sangat bermanfaat bagi para guru untuk mengetahui bagaimana seharusnya budaya positif dibangun dan dihadirkan di lingkungan sekolah. Karena melalui modul ini, kita jadi tahu bahwa budaya positif punya kontribusi yang besar dalam membentuk karakter baik bagi siswa dan warga sekolah lainnya.


Komentar