Ketika pertama kali bertemu Bu Febri di kantin basement kantor, Maret 2023 lalu, saya mendapati kesan bahwa ia adalah sosok yang judes, galak, dan dingin. Waktu itu Pak Ario memperkenalkan saya sebagai staf baru, dan responnya nampak biasa saja. Tidak nampak antusias, tidak nampak menyambut, biasa saja. Saat itu ia sedang menikmati menu takjil, kebetulan kami berkenalan di saat acara buka puasa bersama. Tentu saja kudapan takjil lebih menggoda dibanding berkenalan dengan staf baru ini. Setelah basa-basi pendek soal nama panggilan saya, pertanyaan pertamanya menggelegar cepat: “Lu bisa ngedit video, gak? Kalo bisa, nanti bisa bantuin Arya di Pensosbud.”
Saya gak tahu jawaban apa yang ia harapkan dengan pertanyaan “bisa ngedit video”, dan saya tidak tahu siapa manusia bernama “Arya” tersebut. Apakah yang dimaksud adalah sebatas cut & trim video, atau editing sebagaimana jika ia melihat konten video Bu Retno Marsudi yang saat itu masih Menteri Luar Negeri. Waktu itu saya belum menjawab apapun, lebih tepatnya otak saya masih mempertimbangkan jawaban apa yang harus diutarakan untuk skill yang cuma bisa cut & trim, dan masukin video ke template-template CapCut dan Tiktok. Gak lama kemudian kalimatnya menyambung, “sambil jalan aja, nanti juga bakal ketauan bisanya apa. Tapi kalo bisa nanti bantuin Arya, belajar foto sama video ke dia.” Setelah kalimat itu terlontar, ia pun kembali menikmati takjilnya dan meninggalkan pertanyaan di benak saya: Tadi tuh perkenalan, atau interview kerja, ya? Apakah pekerjaan saya ke depan akan banyak berhubungan dengan video?
Keesokan harinya, saya mendapat kabar bahwa saya diplot untuk kantor Ekonomi. Namun untuk sementara waktu, saya akan diperbantukan di Kantor Pensosbud setidaknya selama bulan ramadan sampai acara Open House Idulfitri. Butuh staf tambahan karena Pensosbud lagi banyak events, katanya.
Singkat cerita saya masuk kantor Pensosbud dan ditunjukkan di meja mana saya akan duduk. Sebuah meja di pojok kiri ruangan yang kala itu lebih akrab dengan debu daripada manusia. Ada beberapa kotak kardus dan angklung rusak di atasnya. Ada juga tumpukan buku dan berkas yang belum sempat dibereskan. Bu Febri sebagai bos perempuan pertama di hidup saya itu, memberi lap warna kuning dan botol semprotan disinfektan. Saya pikir, yang namanya bos bakal duduk manis aja di ruangannya, apalagi dengan kesan pertama yang tidak begitu ramah. Ternyata gesture memberi lap itu berlanjut dengan bantuin angkat dua kardus angklung rusak. Ia juga membawakan satu gulung tisu basah untuk mengelap permukaan meja, bahkan ia turut mengelap beberapa bagian dari meja berbentuk huruf L tersebut. Tiba-tiba, kesan “galak” itu mulai retak sedikit demi sedikit.
Selang beberapa waktu, pertanyaan kedua dan ketiga Bu Febri muncul: “Lu bisa ngeprint dari file Excel, gak?" dan "Lu bisa bikin ketupat, gak?”. Untuk pertanyaan pertama, saya anggap maklum dan saya tunaikan dengan membantunya mencetak sebuah dokumen yang sedang ia kerjakan di komputernya. Tapi pertanyaan kedua, sebentar... ketupat? Sebagai orang Cikeris yang terlahir di sebuah rumah dengan empat pohon kelapa di depannya, dengan mantap saya bilang, “bisa, bu!”. “Coba lu buat dulu, siapa tau bisa buat dekor acara.” katanya.
Dari pertanyaan kedua itu, saya pun akhirnya membuat prototype ketupat yang terbuat dari tali lanyard ID Card bekas. Dan siapa sangka beberapa hari kemudian, Bu Febri datang ke kantor dengan tiga gulung besar pita warna hijau, kuning, dan emas yang diameter gulungannya sebesar ban sepeda anak. “Lu harus bikin ketupat minimal seribu lah buat acara Open House!” Katanya dengan tawa renyah ala Bu Febri.
Dengan semangat Bandung Bondowoso, akhirnya saya mengisi hari-hari pertama saya di DC dengan membuat ketupat dari pita plastik dan satin. Dan siapa sangka, ketika ratusan ketupat itu jadi (ternyata gak nyampe seribu :p) dan dipakai di acara Open House Idulfitri, Bu Febri menjadi sosok yang paling keukeuh mempertahankan saya di depan Pak Dubes Rosan, agar saya tetap di Pensosbud dan tidak ditarik ke Ekonomi. Saat itu saya bangga sekali sebagai orang Cikeris yang lahir di sebuah rumah dengan empat pohon kelapa di depannya, bahwa bakat membuat ketupat ini bisa menjadi penentu pekerjaan saya di Amerika.
Masih di bulan yang sama, ketika saya baru menginjak minggu ketiga di DC. Waktu itu saya masih belum nemu rumah/apartemen untuk tempat tinggal (karena di bulan pertama saya tinggal di kamar yang disediakan kantor), Bu Febri menghampiri saya dan bilang, “kalo nanti setelah satu bulan masih belum nemu rumah, sementara waktu tinggal aja di rumah gue, ada kamar kosong. Lu bisa tinggal di sana sambil nyari-nyari tempat baru!”
Waktu itu saya kaget sekaligus kagum sama kebaikan Bu Febri. Saya adalah orang asing yang baru ia kenal dalam tiga minggu, kok bisa menawari saya untuk tinggal di rumahnya? Bukan sodaranya, bukan kenalannya, bukan siapa-siapa yang kebetulan bertemu karena pekerjaan. Tapi kebaikan hatinya melampaui semua sekat itu. Meski akhirnya saya tidak jadi tinggal di rumahnya (karena keburu nemu rumah), tawaran itu tetap tinggal di hati saya, sebagai bentuk kasih sayang paling tulus yang pernah saya terima di tanah asing ini.
Tapi ada untungnya juga tidak sempat tinggal di rumah Bu Febri, karena ternyata rumahnya adalah rumah terjauh yang dihuni oleh staf kantor. Butuh satu setengah sampai dua jam berkendara dari rumahnya menuju kantor. Sejauh itu ia lakukan setiap hari, tanpa lelah, tanpa komplain, tanpa supir, tanpa pernah izin sakit karena alasan kecapean di jalan. Bahkan dengan jarak demikian, tak jarang ia pulang larut dan keesokan paginya tetap datang ke kantor dengan wajah segar, bahkan dengan panci makanan yang penuh kejutan. Satu waktu dia bawa ayam woku, di waktu lain ia bawa bakso lengkap dengan segala condiment-nya.
Panci itu laksana bahasa cinta yang dibawa Bu Febri setiap pagi. Bahkan bisa dibilang, job desc pertama saya setiap pagi adalah menunggunya di parkiran basement, mengangkat panci penuh kejutan itu ke ruangan Pensosbud, lalu masak nasi dengan takaran beras sekitar 3-4 cangkir. Konon pernah dengar cerita, suami dan anaknya tidak begitu suka makanan Indonesia, sedangkan ia sangat suka masak makanan Indonesia. Jadinya ia selalu masak (banyak) dan ngajak orang-orang kantor untuk makan bareng masakannya yang hampir selalu menu Indonesia, setiap hari kerja. Setiap siang, aroma masakan rumah memenuhi ruangan Pensosbud. Bukan dari katering mahal, bukan dari dapur restoran, tapi dari tangan seorang perempuan yang hatinya sehangat makanan yang ia bawa hampir setiap hari.
Di meja Pensosbud, orang-orang duduk berdesakan: sepuluh orang, dua puluh orang, kadang lebih. Itulah kenapa jumlah kursi di ruang Pensosbud jauh lebih banyak dibanding ruangan lain, bahkan tidak proporsional dengan ukuran mejanya. Itulah pula alasan kenapa di ruangan Pensosbud ada banyak piring dan gelas, juga peralatan dapur seperti microwave, teflon, mesin kopi, air fryer, slow cooker, sampai panci presto. Orang-orang datang setiap siang tanpa perlu membawa apa-apa selain rasa lapar dan tawa. Tak pernah ada yang ditanya sudah bawa bekal atau belum. Tak pernah ada bayaran. Tak pernah ada yang pulang dengan perut kosong.
Tapi ternyata meja itu bukan cuma soal makan siang. Meja itu adalah pusat semesta kecil tempat tawa, gosip, obrolan, dan cinta ditumpahkan. Dari perkara Putut pacaran dengan siapa, sampai teori konspirasi global, setiap orang bisa duduk, makan, dan punya kesempatan untuk dilihat dan didengarkan. Dari rapat program kerja, seleksi anak magang, persiapan kunjungan presiden, sampai ramalan karier berdasarkan aturan primbon, semuanya tersaji bersama terong balado, macaroni schotel, pepes tahu, atau sayur asem. Dan di tengah semuanya, Bu Febri adalah tuan rumahnya.
Kebiasaan masak dan bawa makanan banyak ini sudah berubah bukan hanya sekadar senang berbagi, tapi sudah mengendap menjadi identitas Bu Febri di kepala banyak orang. Banyak orang bisa bekerja menjalankan diplomasi, karena raganya terisi tenaga dari makanan di meja Bu Febri. Ia dan kebaikannya sudah menjadi sinonim yang sulit dipisahkan. Bahkan anehnya, tak jarang ia meminta maaf jika datang ke kantor tanpa bawa makanan. Padahal bukan kewajibannya untuk bawa makanan, dan betapa tidak perlunya minta maaf untuk itu. Atau di lain waktu, ia tetap bawa banyak makanan dan meminta saya untuk mengundang banyak orang supaya datang dan makan di Pensosbud, padahal di hari itu ia punya janji/acara makan siang di luar kantor. Saking seringnya disuruh ngundang makan, saya punya grup Whatsapp "Info Makan" yang isinya pemuda-pemuda kantor berwajah sumringah meski gajinya di bawah UMR. Di grup itu, isinya hanya foto makanan dan info hari ini Bu Febri masak apa.
Dalam sambutannya di acara makan perpisahan dengan Pak KUAI, Bu Febri bilang bahwa prinsip yang ia pakai dalam kepemimpinanya adalah, “yang penting kumpul dulu.” Barangkali masakan dan meja makan itulah yang menjadi strategi Bu Febri untuk mengumpulkan orang, membangun ikatan, menyatukan berbagai perbedaan suku, bahasa, agama, pandangan, pikiran, dan warna jamaah kantor menjadi satu kesatuan yang hangat dan penuh kekeluargaan. Dan memang betul, karena sering ngumpul dan saling kenal, gap perbedaan di antara kita jadi lebih tipis, perbedaan sekrusial apapun bisa ditanggapi dengan kepala dingin, dan dalam kinerja, komunikasi yang terjalin mampu membuat produktivitas tetap stabil meski dihantam dinamika dan tekanan yang beragam.
Tak bisa dipungkiri pula bahwa meja itu yang mempertemukan saya dengan banyak ilmu, wawasan, tutorial, teman, bahkan banyak mimpi baru. Dari meja itu saya bisa tahu isu apa yang sedang ditangani orang-orang Ekonomi, Politik, Pertanian, Perdagangan, Pendidikan, Protkons, atau Pertahanan. Dari meja itu saya tertarik bermain Duolingo, saya menandai tempat-tempat baru di maps untuk dikunjungi, buku baru untuk dibaca, film baru untuk ditonton, termasuk dapat siasat dari Bu Febri tentang bagaimana mendapatkan harga tiket konser murah dan berburu barang bagus di Facebook Marketplace.
Tahun lalu ketika acara WOW Indonesia Festival, acara festival terbesar sejauh ini yang pernah dilakukan pemerintah kita di AS, meja itu adalah saksi bisu yang menyaksikan totalitas Bu Febri sebagai panitia paling berdedikasi. Ia laksana ruh dari semua gerak, hadir di semua rapat (bahkan dalam sehari semalam bisa ikut 9-12 Zoom Meetings!), dari rapat regulasi, rundown, vendor, sampai konsumsi. Ia yang barangkali paling tahu siapa melakukan apa di logistik, di media. Termasuk ia tahu siapa yang pegang kabel, siapa yang jaga pintu, siapa yang lupa makan. Ritme kerjanya nyantai tapi narget, cepat namun bukan buru-buru.
Satu hal unik dari Bu Febri adalah karakternya yang dikenal sangar dan pemberani. Pernah satu waktu ada vendor bazar yang ribet banyak maunya. Di antara kami-kami yang gak enakan, Bu Febri adalah pahlawan yang berani menyemprot orang-orang banyak request tapi minim kontribusi itu. Pernah juga ia menyemprot manajer artis dangdut yang laganya bak manajer Taylor Swift. Bu Febri dengan lantangnya menyarankan si artis untuk ganti manajer karena ribet dan tidak profesional. Eh ternyata manajer dan artis itu adik kakak. Lah gimana cara gantinya?
Kesangaran dan keberanian ini muncul juga ketika ia nyetir mobil di jalanan Amerika. Dalam kondisi normal dan hidup baik-baik saja pun, mobilnya bisa melesat secepat peluru. Bukan ngebut, tapi ngibrit! Ia sudah khatam di titik mana polisi biasa mangkal, di titik mana speeding camera bersembunyi. Bahkan sebenarnya, Bu Febri adalah guru nyetir saya di Amerika. Ia yang banyak mengajari saya soal rambu-rambu lalu lintas, kapan harus berhenti, kapan bisa belok kanan langsung, di mana boleh parkir, dan lain-lain. Saya percaya dengan apa yang ia ajarkan soal lalu lintas. Apalagi jika ia sudah bilang, “jangan begitu, gue udah pernah kena tiket di situ!”
Konon katanya, jika denda pelanggaran speeding-nya diakumulasi, itu bisa setara dengan harga mobil baru. Pokoknya soal lalu lintas, semua supir yang ada di kantor salim cium tangan sama Bu Febri. Hanya satu hal saja yang ia tidak berani lakukan sejauh ini: nonton film horor dengan mata terbuka.
Begitulah Bu Febri. Dermawannya bukan basa-basi, empatinya tidak berjarak. Ia punya cara untuk membuat siapa pun merasa dilihat, didengar, dan dipedulikan. Ia adalah pemimpin yang keibuannya tidak mengurangi wibawa, justru menambah makna. Saya merasa istimewa bisa bekerja dengannya, bisa melihat dari dekat bagaimana setiap peluang, tantangan, dan hambatan dihadapi, didiskusikan, diputuskan, dan dieksekusi dengan ciamik. Terutama ketika ia menjabat sebagai Koordinator Fungsi merangkap Kepala Kanselerai, integritas dan kepemimpinannya bisa disaksikan dari dekat, terlebih ketika berbagai isu dan tantangan tersaji di meja kerjanya.
Kini, saat Bu Febri sudah resmi meninggalkan DC, meja makan itu terasa berbeda. Masih ada kursi, masih ada piring, masih ada tawa, tapi ada yang kosong. Tidak ada program Makan Bergizi Gratis lagi, tidak ada undangan makan lagi, bahkan grup "Info Makan" mungkin akan beralih fungsi menjadi grup pemuda-pemuda berambisi jadi sugar daddy, tapi credit score tidak mumpuni.
Tadi pagi, Bu Febri pergi diam-diam meninggalkan DC. Katanya gak mau dianter siapapun, biar gak ada nangis-nangisan. Jangankan saya yang siapalah di kantor ini, bos-bos besar nanya pun tidak dikasih tahu kapan tiket pulangnya ke Jakarta. Tapi akhirnya bocor juga tiket kepulangannya itu, dan kami pun “berhasil” ikut mengantar ke bandara meski cuma bisa lihat dari balik kaca. Saran saya, Bu, kalau mau pulang diem-diem, jangan lupa logout dulu email di komputer kantor, jadinya kan ketahuan email reservasi tiketnya :p
(pas baca bagian ini, pasti Bu Febri bilang, “ah, damn!”)
Saya kira tidak hanya saya yang merasa kehilangan, tapi juga banyak orang merasa bangga pernah duduk di meja makan Bu Febri. Dengan masakan-masakan yang aduhai, meski kadang suka kebanyakan cabe, kami dikenyangkan bukan hanya oleh kalori dan energi, tapi juga perhatian, empati, dan cinta yang tulus yang barangkali tidak mudah didapatkan di dunia yang semakin aduh-alah-ieuh ini.
Selamat bertugas di tempat yang baru, Bu Febri. Saya gak tahu jalan ibu ke depannya akan seperti apa, apakah jadi Karungga Istana, Karo, Konjen, DCM, Dirjen, Dubes, atau apalah itu. Segala jalan baik semoga selalu menghampiri, sebagaimana ada banyak jalan yang sudah ibu bukakan untuk banyak orang di kantor ini. Dan bagi kami, meja makan itu akan selalu menjadi monumen sunyi dari cinta yang pernah Ibu bagikan dengan sepenuh hati: hangat, lezat, dan tak pernah diminta kembali.
Selamat jalan dan sampai jumpa lagi, Bu Febri, semoga bisa makan bareng lagi.
5 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar