Ketika saya masih sekolah di Kairo, ada satu indikator yang secara tidak tertulis menjadi penanda bahwa seorang mahasiswa Indonesia termasuk “anak orang berada”: orang tuanya bisa hadir di acara wisuda. Dalam konteks ribuan kilometer jarak dari Indonesia ke Mesir, dan ongkos perjalanan yang tidak murah, kehadiran orang tua dalam seremoni akademik itu bukan hanya bentuk kasih sayang, tapi juga simbol kekuatan finansial. Di antara banyaknya mahasiswa yang bahkan belum tentu pernah bertemu langsung dengan orang tuanya sejak pertama kali menjejakkan kaki di negeri para nabi ini, mereka yang bisa memeluk keluarganya saat kelulusan adalah pemandangan langka sekaligus mewah.
Indikator lainnya juga mudah dikenali: punya kamar sendiri di rumah kontrakan, atau bahkan menyewa satu rumah untuk ditempati sendirian. Ini terdengar sepele, namun di tengah-tengah mahasiswa Indonesia di Mesir yang mayoritas hidup menghemat, tinggal sendirian di sebuah rumah tanpa patungan adalah sebuah kemewahan yang tidak bisa dibantah. Dulu, nama seperti Taqi Malik pernah menjadi perbincangan di kalangan mahasiswa karena menyewa rumah sendiri dan memiliki mobil pribadi—dua hal yang cukup untuk menjadikannya legenda kecil di antara para santri Al-Azhar.
Namun waktu mengubah segalanya. Lima tahun setelah saya meninggalkan Kairo—terakhir kali saya tinggal di sana adalah tahun 2020—indikator-indikator itu kini menjadi lebih umum. Banyak wisudawan kini datang bersama orang tuanya. Rumah sewa yang dulunya ramai diisi lima sampai (bahkan) sepuluh orang kini banyak yang dihuni sedikit orang. Dan mobil? Kini tak hanya satu Taqi Malik, tapi banyak “Taqi Malik” lain yang melaju di jalanan Kairo.
Perjalanan saya minggu lalu ke Kairo bukan hanya perjalanan biasa. Ia adalah sebuah “mudik” yang sarat rasa. Saya suka menggunakan kata “sentimental” untuk menggambarkannya. Teman saya, Otin, pernah bertanya apakah kembali ke Kairo adalah pengalaman emosional yang sentimental atau hanya kunjungan biasa. Di hari terakhir sebelum pesawat saya tinggal landas, saya akhirnya menjawab: ya, sangat sentimental! Ini bukan sekadar perjalanan. Ini adalah mudik, ziarah batin. Saya pikir saya hanya akan pulang dengan foto-foto dan cerita-cerita ringan. Tapi nyatanya, saya pulang dengan dada yang penuh sesak oleh kenangan. Saya pulang ke kota di mana saya pernah jatuh cinta berkali-kali, patah hati berkali-kali, juga belajar berkali-kali.
Di setiap sudut kota tandus ini, saya menemukan fragmen-fragmen masa lalu yang terselip dan kini muncul kembali. Segelas lemon bina’na’ (lemon mint) di restoran Kilo Kabab, misalnya, membawa saya mengingat Sabrin—orang pertama yang memperkenalkan saya pada minuman itu. Anehnya, kami dulu ke sana bukan untuk membeli menu makanannya, tapi hanya untuk menyeruput lemon yang notabene cuma minuman pendamping, dan berkelakar ngaler ngidul tanpa pernah membayangkan akan bagaimana jadinya kehidupan kami di masa sekarang ini.
Atau Karkade dingin di Kafe Fishawy, yang mengantar saya kembali ke obrolan musim panas selepas ujian kampus dengan Irfan dan Usman. Mereka memesan kopi, saya karkade, dan di tengah aroma rempah dan hiruk pikuk pasar Khan El-Khalili, kami membahas hidup, ujian, dan kadang teori-teori liar seperti apakah harus keluar dari Islam agar bisa meneliti Islam secara objektif—sebuah pertanyaan jenaka namun filosofis dari Mas Fawad, teman diskusi yang tak pernah kehabisan akal bermain kata.
Saya juga mengingat adegan lain di kafe itu—Ocad yang memberikan bunga pada seorang perempuan Mesir, lalu saling jatuh cinta, membangun hubungan sebentar, lalu menghilang seperti banyak kisah lain di kota ini. Dan kursi-kursi tua di kafe itu seakan menyimpan gema suara kami yang pernah berseru, bercanda, bersedih, bahkan mengutuk nama-nama perempuan yang pernah mengabaikan usaha-usaha pria di sekeliling pertemanan kita.
Banyak yang berubah di Kairo. Jalan layang tumbuh menjulang, gedung-gedung baru menembus langit, tapi banyak juga yang tak berubah. Seperti kelelahan kota ini. Trotoar menghilang, ruang hijau digantikan beton dan toko-toko. Saya berjalan menyusuri Hay Asyir dan merasa betapa pejalan kaki kini seperti makhluk asing yang tak diundang. Di balik pembangunan yang mengagumkan, saya melihat wajah-wajah yang menua sebelum waktunya, orang-orang berebut roti isy di pinggir jalan, bapak-bapak tua dan ibu bertudung kusam tertunduk oleh inflasi yang menggilas mereka dalam diam.
Uang seratus pound yang dulu bisa membeli tiga porsi makan kini bahkan tak cukup untuk satu. Warga terpaksa mencari cara baru untuk bertahan hidup: dari membersihkan jendela mobil saat lampu merah hingga menawarkan jasa membawa paspor di bandara—hal-hal kecil yang menyiratkan betapa kerasnya hidup kini mereka jalani. Seperti keledai tua yang dipaksa menarik gerobak berat di panasnya jalanan Nasr City, begitulah metafora kehidupan mereka hari ini.
Namun, kondisi ini justru menjadi berkah terselubung bagi mahasiswa Indonesia. Nilai tukar rupiah yang menguat terhadap pound Mesir (atau lebih tepatnya karena nilai tukar pound yang terus merosot) membuat biaya hidup di Cairo jauh lebih ringan. Jika dulu sejuta rupiah hanya setara 450 pound di 2013, setara 1200 pound di 2020, kini ia bernilai 3000 pound. Dulu saya bayar sewa rumah sebesar 400 pound di 2013, 650 pound di 2020, dan kabarnya, mahasiswa sekarang harus membayar sewa rumah di kisaran angka 900-1500 pound. Angka pound-nya memang membesar, namun bagi yang tenaga dompetnya rupiah, kenaikan ini pada hakikatnya menurun. Dengan uang yang sama, kehidupan menjadi jauh lebih layak. Sewa rumah, makanan, bahkan kendaraan kini lebih terjangkau dibanding masa-masa dulu.
Dalam mudik yang hanya berdurasi enam hari ini, saya bertemu dengan banyak sekali orang. Saya bertemu teman sekelas saya, Nadzif, yang sekarang sudah menjelma menjadi senior yang sangat dihormati (dan dikagumi!) karena keilmuannya. Saya ketemu Utay dan keluarga (besarnya) yang bersahaja. Saya ketemu Ozay dan anak balitanya yang lebih tertarik uang 20 dollar dibanding 20 pound, ketemu Safieq dan Icha yang menghindangkan begitu banyak makanan untuk makan malam yang menyenangkan (dan mengenyangkan!), ketemu Ega dan Saddam, Mas Fardan dan Teh Euis, Pipeh dan Mboy, Bojal dan Ratih, Teh Latifah dan anak-anaknya yang mengagumkan, dan adik kelas di pesantren yang sebelumnya gak pernah bertemu sekalipun. Orang-orang ini dan pertemanan ini terasa seperti perkumpulan keluarga jauh yang membuat mudik ini menjadi berarti.
Saya teringat kisah Ibnu Batutah, musafir besar dari Maroko yang menempuh lebih dari 120.000 kilometer dalam hidupnya. Ia bersumpah tak akan mengambil jalan yang sama dalam perjalanannya. Tapi Kairo adalah pengecualian. Kota ini memikatnya. Ia datang pada tahun 1326, saat Kairo sedang berada di puncak kejayaan, dan ia memujinya sebagai kota yang “menampung semua jenis orang terpelajar dan bodoh, pemuram dan ceria, orang bijaksana dan pandir, bangsawan dan rakyat jelata… jiwanya selalu muda walau usianya panjang.” Saya kini mengerti mengapa ia kembali.
Seperti Ibnu Batutah, saya pun (ternyata) kembali ke Kairo dan menemukan bahwa meski wajah kota ini telah banyak berubah, jiwanya tetap sama. Kota ini adalah palimpsest kenangan, lapis demi lapis kisah yang tak pernah usai ditulis ulang. Kairo, dalam segala kekacauan dan keindahannya, tetap menjadi tempat yang membuat saya merasa kecil, tapi utuh. Tempat yang membuat saya ingin pulang, sekaligus tak ingin benar-benar pergi.
Dan mungkin, dalam keheningan malam Kairo yang masih dilintasi azan dan suara tawa anak-anak, saya mendengar gema dari ucapan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, "Tempat tinggal bukanlah tanah, melainkan hati yang mengenang dan mendoakan." Mungkin itulah sebabnya, sejauh apapun saya pergi, kota ini tak pernah benar-benar jauh.
Washington, D.C., 27 Mei 2025
Berkat instastory Mang Maul yang 'mudik' ke Mesir, saya jadi tergerak menghubungi teman Masriyah yang dulu akrab sampe keluarganya. Itung-itung usaha mengamini perkataan Herodotus: siapa yang minum air Nil, akan kembali meminumnya lagi.
BalasHapusMakasih atas kredit kecilnya, Mang, hehe