Kelakar Tinggal di Amerika tapi Gak Mahir Berbahasa Inggris

Meski hidup berpuluh-puluh tahun di Amerika, ternyata banyak pendatang yang gak mahir berbahasa Inggris. Semangat untuk sukses di perantauan memang besar di kalangan perantau, tapi semangat untuk belajar adalah hal yang lain. Ada kalanya saya heran ketika ngobrol dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika, tapi kok bahasa Inggrisnya biasa saja. Padahal eksposur terhadap bahasa Inggris sangatlah tinggi. Dari sesederhana disapa orang di jalan, slogan dan petunjuk arah di tempat umum, sampai hal-hal yang kompleks seperti ketersediaan buku, media, tontonan, sampai komunitas-komunitas akademik, semuanya serba bahasa Inggris dan sangat mungkin untuk bisa diakses. Tapi kalau dipikir-pikir, orang Indo yang tinggal di Indo berpuluh-puluh tahun pun tidak ada garansi mereka bisa mahir berbahasa Indonesia. Entah bahasa lisannya atau tulisannya, gak jarang kita temui orang-orang Indonesia yang belibet dan sulit dimengerti ketika berkomunikasi dengan bahasanya sendir

Yeay! Akhirnya Menang Kuntum Mekar!

 


.:: Ramadan 2011 ::.

Suatu pagi setelah ribuan hari. Tugas Antropologi mengantarkanku menuju ruang Kepala Sekolah, mencari tumpukan Koran beberapa hari yang lalu, kemudian mengemasnya untuk teman-teman yang sudah menunggu di ruang kelas. Koran edisi hari ini tergeletak masih perawan di atas meja tamu. Penasaran, lalu membukanya halaman demi halaman. Di halaman dalam, tepatnya kolom paling kiri sebelah bawah, ada Info Lomba Menulis Puisi Kuntum Mekar. Menarik, bahkan mampu menyeretku pada area yang sulit dilupakan, beberapa hari setelahnya.

Seminggu sebelumnya, Universitas Pendidikan Indonesia mengadakan Lomba Mading antarSMA tingkat Provinsi. Salah satu pesertanya adalah aku, dan dua teman lainnya yang membawa nama sekolahku. Di mading buatan kami, salah satu puisiku ada di sana. Judulnya ‘Menikahi Ramadan’. Tapi sayang, taka da gelar juara dalam ajang itu. Terbesit dalam pikiran, bukankah kekuatan mading kami ada pada puisiku? Sentiment memang pikiran semacam itu, tapi itulah perasaan yang kemudian bergelantungan dalam benakku, berhari-hari setelah mendengar kabar tak sedap itu. 

.:: Libur Ramadan 2011 ::.

Semua santri dipulangkan dari pesantren. Aktivitas dan segala rutinitas pesantren terhenti sampai satu minggu setelah lebaran. Aku pulang, membawa sebuah puisi yang (mungkin) menjadi penyebab kekalahan dalam Lomba Mading. Beranjak ke sebuah Warnet, tiba-tiba ingat Kuntum Mekar. Tanpa piker panjang, sobekan Koran waktu di kelas ku baca secara seksama, mengikuti alur perintah, syarat-syarat, dank u kirim lewat sur-el. Syaratnya harus tiga puisi, akhirnya dua puisi dibuat mendadak di depan computer warnet. Selesai.

Waktu itu hari selasa minggu ketiga di bulan September, kalau tidak salah. Pengumuman pemenang diumumkan via daring. Aku sempat titip pesan ke guru bahasa Indonesia agar dicek pengumuman tersebut, siapa tahu namaku ada di sana. Ketika mata pelajaran fiqh berlangsung, guru bahasa Indonesia mengetuk pintu dan mengumumkan di depan kelas, aku juara 1 lomba menulis puisi kuntum mekar 2011. Spontan, haru bercampur bahagia. Ada banyak hal yang kemudian tak bisa aku katakana, meskipun sebelumnya telah direncanakan sebelumnya.

Yes, menang!

Sebenarnya, keinginan kuat untuk menang lahir karena sebelumnya selalu gagal dalam lomba sejenis. Entah kenapa, tapi ternyata Allah memberi kejutan lewat ajang ini. Suatu hal yang tak terduga.

Satu bulan setelahnya, barulah acara penganugerahan dilaksanakan di Hotel Harris, kawasan Citylink Bandung. Bersama 170 orang lainnya, aku duduk di kursi tamu undangan sebagai penerima Beasiswa Pikiran Rakyat.  Dari acara inilah, aku kenal Fasha Rouf (Juara 2) yang juga pernah juara Kuntum Mekar di tahun sebelumnya serta Juara 1 Lomba Menulis Puisi FLS2N Tingkat Nasional, dan juga Syahrizal Sidiq (Juara 3) yang juga Juara Harapan 3 Lomba Menulis Puisi Madrasah Expo Tingkat Nasional. 

Komentar