Mengukur Panas Musim Panas di Amerika

Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta? Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?"

Menikahi Ramadan

doaku telah mengkhitbahmu

merindumu dalam sujud para syuhada
mencintamu dalam dzikir para ambiya
ku persunting namamu
di atas tanah lailatul qodar
di atas sayap-sayap penuh harapan
denganmu, aku ingin membawa restu
menyerahkannya pada ridwan
meminta surga untuk sebuah bulan madu
pada tubuhmu, aku berpesta
: sebotol doa, sepiring dzikir,
sesuap tadarus, segelas qiyamullail
lalu aku tumpah, lebam
dalam pangkuan nuzulul quran
aku tak ingin mentalaqmu
mencintamu adalah keabadian

2011
Puisi ini telah memenangkan Lomba Menulis Puisi Kuntum Mekar Pikiran Rakyat 2011

Komentar