Seperti Ibnu Batutah, Saya Kembali ke Kairo

Ketika saya masih sekolah di Kairo, ada satu indikator yang secara tidak tertulis menjadi penanda bahwa seorang mahasiswa Indonesia termasuk “anak orang berada”: orang tuanya bisa hadir di acara wisuda. Dalam konteks ribuan kilometer jarak dari Indonesia ke Mesir, dan ongkos perjalanan yang tidak murah, kehadiran orang tua dalam seremoni akademik itu bukan hanya bentuk kasih sayang, tapi juga simbol kekuatan finansial. Di antara banyaknya mahasiswa yang bahkan belum tentu pernah bertemu langsung dengan orang tuanya sejak pertama kali menjejakkan kaki di negeri para nabi ini, mereka yang bisa memeluk keluarganya saat kelulusan adalah pemandangan langka sekaligus mewah. Indikator lainnya juga mudah dikenali: punya kamar sendiri di rumah kontrakan, atau bahkan menyewa satu rumah untuk ditempati sendirian. Ini terdengar sepele, namun di tengah-tengah mahasiswa Indonesia di Mesir yang mayoritas hidup menghemat, tinggal sendirian di sebuah rumah tanpa patungan adalah sebuah kemewahan yang ti...

Diversitas dan Cinta


Manusia yang diciptakan dengan keanekaragaman suku dan bangsa, ras dan bahasa, adat dan budaya, menjadi warna yang unik untuk diperbincangkan. Sebuah diversitas yang tak ternilai harganya. Keberagaman ini menjadikan manusia saling mengenal satu sama lain, saling mengunjungi, membangun interaksi harmonis, bertukar budaya, berkomitmen, membangun keluarga, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana dideskripsikan Q.S. Al-Hujurat Ayat 13.
Salah satu isu global yang hari ini menggaung adalah permasalahan perdamaian dunia. Huru-hara yang terjadi di banyak penjuru bumi, peperangan, pertumpahan darah, perselisihan yang berujung pada konflik, semua itu berderet bak santapan harian yang secara ekslusif disuguhkan media cetak, televisi, radio, dan media lainnya seolah bukan lagi hal yang tabu. Wacana semacam ini terdengar sangat kasar di telinga siapapun, orang manapun, bangsa manapun. Bagaimanapun keadaannya, dapat dipastikan bahwa hampir setiap manusia memiliki cahaya hati yang memancarkan perdamaian, dan merindukan kenyamanan. Tak perlu jauh menengok dunia yang begitu luas, tengoklah ke dalam terlebih dahulu. Perseteruan antar daerah masih hangat terjadi di bangsa yang kaya subur makmur loh jinawi ini.
Indonesia yang dianugerahi Allah dengan banyaknya suku tak menjadi kekuatan positif yang bisa dioptimalkan manusianya. Fenomena etnosentrisme dan kalangan primordialisme masih subur terjadi di beberapa bagian bangsa Indonesia, yang secara perlahan menjadi acaman bom waktu bagi sayap Bhineka Tunggal Ika. Solusi dari permasalahan perpecahan adalah butuh media perekat agar terjadi integrasi unsur-unsur budaya menuju satu Indonesia. Salah satunya dengan cinta. Cinta serupa tali pengikat dengan simpul yang kuat dan kokoh, sekaligus menjadi pembatas agar segala yang diikatnya tetap utuh. Dianalogikan persaudaraan adalah tubuh utuh dengan bagian-bagian tersendiri. Perpecahan, konflik, huru-hara, seolah satu bagian tubuh melukai bagian yang lain. Tapi dengan cinta, rasa saling menjaga dan menghargai akan muncul dan tumbuh subur, sehingga segalanya tetap berfungsi sebagaimana mestinya. Muslim satu dengan lainnya ibarat sebuah bangunan, saling menopang satu sama lain.

Komentar