Mengukur Panas Musim Panas di Amerika

Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta? Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?"

Mengenang Kenangan

Musim dingin sudah mengintip dari jendela subuh. Udara membawa gigil, air mendingin, selimut mulai kembali dikeluarkan dari lemari. Baru dua hari suhu Kairo hanya berada di posisi derajat 28, padahal hari-hari sebelumnya sampai 38 derajat celsius. Ocad merasa nyaman dengan selimut yang baru dilaundry. Masih wangi, bersih, dan tentunya bebas dari kutu kasur yang selalu mengganggu selama musim panas. Karenanya sejak pagi tadi, ia hanya lelah dengan kemalasannya sendiri.

Sore hari, Ocad berdiri lama di balkon rumah. Ia cukup lama menikmati diam : menatap jalanan, kendaraan, tanaman di pot, burung di sangkar, awan mendung, dan mengantarkan matahari tenggelam menuju peraduannya. Banyak hal yang terjadi dalam pikirannya, seolah-olah pemandangan di sekitarnya tengah memutarkan  banyak kenangan yang pernah terjadi dalam hidupnya. Tatapannya sendu, air mukanya dingin.
Percakapan yang begitu rahasia tengah terjadi dalam batinnya.
"Kau tau, angin musim dingin tak membawa keceriaan seperti musim panas. Bahkan sebelum dimulai pun, ia hanya membuatku mengingatmu lebih dari biasanya. Satu hal kusenangi dari kota ini karena ia tak memiliki hujan. Karenanya, aku tak perlu takut dengan masa lalu yang akan menghujaniku. Tapi angin sore ini membawa mendung, membawaku pada gerbang kenangan, pada senyummu yang telah membias di udara, sejak lama. Aku rindu kamu, rindu untuk pergi ke pantai lagi, atau ke perpustakaan tempat kita menitipkan banyak cerita"

Sepertinya, inilah hari pertama bagi Ocad merasa begitu tenggelam dalam kenangan. Saat awan berarak menjadi mendung, gerimis kenangan turun dalam hatinya, tentang braga, pameran buku, soto lembang, dan jaketnya yang sempat basah karena melindungi perempuannya dari rintik hujan.
Ia tahu bahwa terjebak terlalu lama dalam kenangan hanya akan membuatnya terhambat untuk melangkah ke depan. Tapi mau bagaimana lagi, Ocad benar-benar selalu didatangi kenangan dari banyak hal yang nampak sama.
Ocad bergegas masuk rumah. Ia berjalan menuju kamarnya, sedikit bergegas. Kamar yang kosong, rumah yang sepi, senja yang dingin, Ocad memutar lagu kenangannya di atas kasur. Kenangan berputar dalam pikirannya secara acak, random, tak beraturan, tak kronologis.
Tiba-tiba ingatannya hadir di sebuah jalan yang sangat ramai. Di antara klasiknya bangunan-bangunan di sepanjang jalan Braga, ia mendengarkan setiap cerita Kriapur dengan penuh perhatian. Kalimat-kalimatnya ia cerna dengan baik, tanpa satu pun kata luput dari perhatiannya.
Waktu itu, Ocad tidak pernah berpikir akan menjadi kekasihnya. Tidak pernah juga berharap akan menjadi seseorang yang menemaninya berjalan sebagai sepasang kekasih. Ocad dan Kriapur hanya berteman, sebelumnya. Sebelum akhirnya mereka saling menyadari. Ada hal yang mengikat mereka secara diam-diam.
Mengelilingi pameran buku dan saling bercerita tentang penulis favorit adalah kenangan yang membuat keduanya menemukan kesan. Hingga akhirnya mereka saling mengakui telah jatuh hati. Saling mengakui kesamaan, lalu berjalan dan makan bersama bukan sebagai teman lagi.
Lalu hujan turun turut mengabadikan cerita mereka. Hujan menjadi lema yang selalu mengiang dalam hati mereka setiap kali mereka saling sendiri di tempat yang berbeda.
Sejak saat itu Ocad mulai cemburu ketika ada orang lain yang menyukai Kriapur. Apalagi jika ada orang lain yanv berlaku lebih mesra dengannya, atau lebih akrab dengannya. Ocad tak tahu bagaimana cara kerja rasa cemburu dalam dirinya. Ia selalu merasakan itu ketika melihat Kriapur membagikan senyumannya kepada orang lain. Cinta membuatnya menjadi begiti egois tentang perempuannya. Ia sadar, ia tak selalu mampu mengendalikan perasaannya sendiri.
Tiba-tiba di lain waktu, Kriapur juga mengutarakan rasa cemburunya. Ocad merasa senang. Hatinya lega. Mereka hanya tinggal menyimpan rasa saling percaya dalam hubungannya. Kriapur mengutarakan itu di antara suap soto ayam yang selalu mereka pesan tiap kali berkunjung ke Lembang.
Tapi Ocad sadar, cemburunya tak lagi berarti untuk hari ini. Ocad dan Kriapur sudah bukan siapa-siapa sejak Ocad merasa hanya dia yang masih merasakan cemburu.
Ocad mengernyitkan kening, menutup matanya, menutup wajahnya dengan bantal. Ada bagian yang tak ingin diingatnya.
Senja semakin tua. Adzan magrib berkumandang dari seribu satu menara yang berdiri di hamparan tanah kota. Ocad beranjak. Beristigfar, mencoba menghapus kenangannya dengan air wudhu.

Komentar