Jumat sore tanggal 15. Matahari cukup ramah dengan udara yang sejuk. Seorang kawan lama berkunjung ke rumah kami lengkap dengan kedua orang tua dan adiknya. Namanya Reza. Dulu, kami adalah teman sepermainan. Sejak TK sampai tamat SD, kami selalu duduk di kelas yang sama. Lama tak bertemu, nampaknya kami sudah tak lagi suka bertegur sapa, apalagi berbagi kisah. Tinggi kami hampir sama, tapi dia punya janggut yang lebih lebat dari saya. Keluarga kami berdua memang sudah berkerabat sejak lama, bahkan sejak beta masih dikandung badan. Meskipun tidak ada ikatan darah dan nasab, tapi kami sudah tidak merasa bukan saling siapa-siapa.
Reza baru lulus pendidikan D1 di Sekolah Tinggi Administrasi Negara (STAN) Bandung. Entah sekarang di mana, katanya sekarang dia bekerja di gedung yang posisinya di belakang Gedung Sate. Mungkin kerjaannya tukang ni-ir sate, tapi gaji bulanannya lebih besar dari tukang ni-ir sate biasa. Kata bapaknya. Lalu seperti pengunjung rumah sebelum-sebelumnya, mereka bertanya soal Mesir, tapi kali ini agak berbeda sudut pandangnya.
Bapaknya Reza adalah salah satu alumni PM Gontor. Ia bertanya, berapa banyak alumni Gontor yang ada di Mesir? Saya bilang, banyak. Karena memang saya gak tau persisnya berapa. Lafadz apa yang mampu mewakili kebalatakan mereka di Mesir selain lafadz banyak? Lalu si Bapak tertawa seolah jawaban itu memang sudah seperti dugaannya. Ia pun bertanya kegiatan anak-anak IKPM, bertanya soal kunjungan Syeikh Ahmad Thayyeb ke Indonesia (baca: Gontor), cerita kiprah alumni Gontor di beberapa jabatan pemerintahan, dan ngomongin prospek pondok pesantren antara yang dikelola umat sama yang dikelola keluarga. Sore ini saya agak bersemangat untuk 'meladeni' tamu, lantaran obrolan soal Mesir jarang-jarang soal begini. Obrolan kami dengan keluarga Reza tidak melulu soal di Mesir ada pohon atau enggak, makananan pokoknya apa, dan naik pesawat dari jam berapa sampai jam berapa.
Obrolan seru lainnya adalah ketika bertemu guru-guru semasa sekolah. Kalau gurunya ibu-ibu, biasanya pertanyaannya gak jauh dari makanan, kuliner, pakaian, dan perkuliahan. Tapi kalau bapak-bapak, pertanyaannya seputar sosial kemasayrakatan, keilmuan, dan politik. Kalau ibu-ibu mah jawabannya simpel, semacam kuliner khas Mesir apaan? Kalau beli baju di sana suka kegedean gak ukurannya? atau soal adaptasi kuliah yang gak ada dosen berbahasa Sunda.
Lain cerita dengan bapak-bapak. Obrolannya itu harus dijawab dengan sangat hati-hati dan penuh pertimbangan. Seperti pertanyaan seputar Sayyid Quthb, Toha Hussein, Gamal Abdel Nasser, Sisi-Mursi, atau alasan mengapa Masjid Amr bin Ash selalu penuh kalau ada Syeikh Jibril. Ada juga guru yang pertanyaannya seperti tes seleksi beasiswa. Mengapa anda memilih Mesir sebagai tempat studi? Prospek apa yang anda proyeksikan setelah nanti lulus dari Al-Azhar? Bahkan tak jarang berujung dengan nasehat: belajar aja yang bener, nikah mah gampang!
Setelah bapaknya puas cerita, giliran Reza yang cerita soal kampus kebanggaanya. Mulai dari proses masuknya, sampai penempatan kerjanya. Sebagai karyawan honorer Atdikbud yang masih gagal umroh, saya ngiri dengar cerita gajinya Reza. Bahkan gaji sepupu saya yang Polwan saja masih kalah dengan gajinya Reza. Padahal saking besarnya gaji si sepupu, dia mampu traktir saya baso sampai kenyang. Jadi berapa gajinya Reza? Dalam hati, pantesan anak ini agak gemukan. Mungkin dia bahagia dan gak punya sedikit pun waktu untuk kelaparan. Jenggotnya lebih lebat juga wajar, karena mungkin dia pakai krim wak doyoknya double dosis karena kebanyakan duit.
Bertemu kawan lama adalah hal yang seru. Semua ceritanya di luar dugaan, karena dunia seolah terdapat spasi dan kita sama-sama saling tidak tahu. Sebagai contoh, memori yang ada di otak soal Reza hanyalah anak SD yang kalau mandi pagi harus pakai air hangat. Dia pintar matematika sebagaimana ibunya, dan termasuk anak-anak transisi antara bukan anak baik, bukan juga golongan anak bandel.
Kami juga membincang teman-teman kami waktu SD. Ada Anggita, teman SD kami yang sekarang sedang gelut di Fisika ITB. Sejak kelas satu sampai kelas enam SD, Anggita selalu peringkat satu. Matematikanya juga tokcer, jadi wajar kalau sekarang jadi mahasiswi ITB. Kira-kira itu asumsi dangkal saya soal Anggita. Ada juga Fauzi, Tina, Nina, Ridwan, dan beberapa teman yang sekarang tersebar di kampus yang berbeda-beda. Sebagian sudah menikah, bahkan sudah berkembang biak. Mereka yang sudah menikah tidak satu pun kami bahas, karena membahas orang-orang yang sudah menikah tidaklah menyenangkan. Tidak ada pesan moralnya, dan tidak ada hikmah bijak yang bisa kami petik.
Selepas adzan asar, Reza pamit pulang. Meninggalkan oleh-oleh dan juga meninggalkan kenangan masa-masa SD. Saya pun berjanji akan mengunjungi Pak Lukman, guru pertama waktu SD yang mengajarkan kami Bahasa Inggris, cara ngotret pertambahan dan pengurangan, beberapa kata motivasi seperti "kejujuran adalah mata rantai yang berguna di mana saja", dan wali kelas kami di tahun terakhir.
Jumat sore ini tiba-tiba bapak saya jadi sok bijak. Katanya, selagi punya waktu mah, sok silaturahim ke guru-guru SD yang ngajarin kamu baca tulis. Gak bawa oleh-oleh Mesir juga, mereka pasti senang. Karena gak ada yang lebih membahagiakan seorang guru selain cerita baik dari murid-muridnya. Gitu.
15 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar