|
Image taken from here |
Bandung adalah kota yang sejauh ini paling mungkin untuk memupuk kesepian menjadi ide kreatif yang brilian. Kata Pidi Baiq saja, "Dan Bandung bagiku bukan cuma masalah geografis, lebih dari itu melibatkan perasaan, yang bersamaku ketika sunyi." Membandung dan mengairo memang sama-sama mengasyikan. Sama-sama tempat bersejarah, tempat kenangan, mantan, dan harapan mengendap di setiap inci ruangnya.
Beberapa waktu dalam liburan ini saya habiskan di Bandung. Di Baso Boedjangan, Surabi Setiabudi, Batagor Isola, Alun-alun Bandung, foto bareng Valak, Iron Man, dan Pokemon, dan tentunya kembali bernostalgia bagaimana serunya jadi jadi anak kost-kost-an. Setiap aktivitas di Bandung bisa punya cerita dan tulisan sendiri. Satu yang cukup menarik adalah soal Banci Bandung.
Ngobrolin banci sambil makan baso atau nasi goreng nyatanya cukup seru. Seperti ada nutrisi tambahan yang masuk perut, bikin kita mau kuliner lagi dan lagi. Banci itu unik dan penting. Unik karena berbeda dengan kebanyakan. Mereka semacam makhuk alternatif dari dua jenis kelamin yang Tuhan ciptakan. Mau disebut cewek, tapi kencingnya berdiri. Mau disebut cowok, tapi dadanya terlalu gede. Standarnya seukuran air dua liter diplastikin mah ada. Keunikan yang mereka miliki juga sudah menjadi identitas bahkan karakter. Selain unik, mereka juga penting. Hari ini, syarat eksistensi sebuah kota adalah kehadiran banci. Silakan agan-agan telusuri tempat-tempat yang ada label 'kota'nya, bisa dipastikan ada bancinya. Oh sorry, bukan banci tapi bancala. Bancala adalah eufemisme untuk menghormati eksistensi mereka di alam semesta, semacam bagian dari HAM
unprejudice factor sebagaimana yang saya tangkap dalam
Youth Dialougue: Pemuda Sahabat Dunia di Museum KAA beberapa waktu yang lalu.
Bancala adalah komunitas makro yang punya budaya sendiri. Jika kita melihatnya dalam cermin
cultural universal, mereka sudah memenuhi beberapa syarat sebagai masyarakat berperadaban. Sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, peralatan/perlengkapan hidup, sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, bahasa dan seni. Tak bisa dipungkiri, bancala saat ini sudah punya struktur kemasyarakatan dengan baik. Mereka punya komunitas, punya LSM, bekerja sebagai tatarias, penari, bahkan mereka punya kosa kata sendiri. Jika saja mereka mau, dalam waktu dekat sangat mungkin mereka membuat kamus bahasa bancala. Karena meskipun sama-sama orang Indonesia, sama-sama orang Sunda, saya gagal paham tatkala bancala berbicara. "Yuk, capung (pergi)!" "Siniin itu helm, akikah (aku) punya!" "Abang gope aja sawerannya, Bang, kalo enggak entar ekeu cumi (cium) nih," jali-jali sore, cacamarica (cari-cari) sepatu di Cibaduyut, traktirin makarena (makan) siang, dan masih banyak lagi itilah yang entah bagaimana mereka mengadopsi akar katanya.
Tapi harus diakui juga bahwa bacala punya segudang bakat yang tidak dimiliki makhluk yang ngaku cowok dan cewek. Kita lihat di banyak salon, di balik wahnya penampilan para aktor aktris artis di layar kaca, ada peran bancala di sana. Bahkan sebagian orang juga mengakui bahwa hasil make up bancala jauh lebih bagus dibanding kerjaan make up cewek atau cowok tulen. Penari yang gitekan dan buka-sitik-jos-nya maknyos juga lebih lihai bancala. Tidakkah kita yang mengaku pria danwanita seutuhnya khawatr di suatu hari nanti lahan pekerjaan kita diambil alih oleh bancala?
Menjadi bancala bagi sebagian orang adalah pilihan hidup. Terlepas dengan bagaimana orientasi seksualnya, bancala memang sudah jadi pilihan yang tak sedikit dipilih orang. Yang namanya pilihan bagaimanapun adalah hak prerogratif masing-masing. Sekalipun kita yang muslim punya kewajiban tawashou bilhaq, dan kita sudah berusaha melakukan itu, kalau pilihannya mau jadi bancala ya bancala. Maka di sebagian wilayah, lahir beberapa komunitas yang menjuduli diri mereka sebagai bancala yang taat beribadah, menyusun buku fiqh bancala, dan entah apa lagi. Salah satunya Adinda (nama samaran. Siang Adi, malam Dinda. Nama mangkal Adinda) yang datang menemui Nika. Ia datang dengan niat tulus dan intonasi suara yang teduh.
"Ummi, aku teh sebenernya pengen hijrah. Bimbing aku ya," pintanya.
"Iya, sama-sama saling mengingatkan aja ya. Aku juga masih harus banyak belajar," kata Nika dengan sifat keibuan dan
sok kebijaksanaannya.
"Iya, sebenarnya aku teh udah lama pengen berhijab ...." sampai kalimat ini, ekspektasi Nika soal
taubatan nashuuha jadi hancur. Matanya melotot dan hatinya memaki-maki. Seandainya Nika gak jaim, dia pasti akan teriak, "dasar Si Goblog!"
Sebenarnya, lema banci alias bancala masih butuh rincian pengertian yang lebih serius. Karena lema banci masih bermakna nakiroh, umum,dan belum definitif. Pria metroseksual tentunya tidak bisa dikategorikan sebagai banci. Kebiasaan metroseks yang selalu tampil perfeksionis, rapi, dan wangi tentunya tidak cukup menjadi dasar bahwa ia adalah banci. Terlalu jauh. Ada juga pria yang 'lambai', 'lekong', yang kalau bicara bibirnya seperti desir angin, jalannya lembut selembut sutra jatuh ke tanah. Di versi lain, ada pria yang memang mengubah penampilannya secara total, mulai dari usaha menghilangkan jakun, sampai mencukur habis bulu kakinya. Jadi sebenarnya apa dan di mana parameter seseorang disebut banci? Jika menyoal orientasi ranjang, homoseks adalah pria-pria tulen yang tidak sedikit pun terlihat seperti perempuan.
Yang pasti, bancala adalah warna dalam kehidupan manusia. Entah itu bakat,entah itu penyakit, kita dilarang untuk bersikap diskriminatif terhadap bancala. Siapa yang tahu bahwa seseorang bisa mati gara-gara jadi bancala. Jadi udah biarin aja. Tapi meskipun begitu,kita gak bisa menganggap remeh bancala. "
Ulah disapirakeun,banci ge bisa ngareuneuhan!"
16 Agustus 2016
Komentar
Posting Komentar