Mengukur Panas Musim Panas di Amerika

Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta? Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?"

Menyikapi Rasa Kehilangan

Hasil gambar untuk kehilangan
Sumber Gambar






















"Nama-nama datang, sebagian hilang. Tapi ada nama yang tak pernah kemana."
- Rudy Aliruda-

Kemarin sore, Si Redmi hilang dengan uang lima puluh pound dalam perjalanan Asyir-Sabik. Beberapa saat setelah menyadari kantong jaket menganga tanpa isi, saya cengo bermuka bego. Di saku sebelah ada uang tiga pound nush, itulah receh tak disangka yang Tuhan hadirkan untukku bisa kembali pulang. Akhirnya, keperluan yang bersandar pada uang 50 itu batal terlaksana, dan saya kembali pulang menbawa kenangan.

Seperti kehilangan-kehilangan lainnya, kehilangan selalu menjebakkan kita pada dimensi kenangan dan penyesalan. Dalam kasus kehilangan kali ini, saya menyayangkan beberapa data dalam ponsel yang belum sempat saya cadangkan ke internet. Beberapa foto yang belum diketahui Instagram, lampiran gambar di whatsapp yang belum diunduh, chat atasan yang udah saya diemin dari kapan tau, dan yang terpenting adalah rekaman suara hasil sadapan koleksi aibnya Emil, Jamil, Abdan, Rinaldi, Ocad, Balqis, Ikah, Fawaid dan curahan hati Yuda beberapa waktu sebelum ditinggal cemewewnya. Padahal mah kalau tahu bakal hilang, dari kemarin-kemarin akan saya unggah dulu ke Soundcloud. Assem.

Suatu hari saya beli sesuatu yang cukup bernilai. Namanya barang baru, bawaannya khawatir hilang. Ninggalin di kamar, harus ngecek berkali-kali jendela tertutup atau enggak. Mau pergi, rumah pun dipastikan terkunci dengan rapat. Bahkan ketika punya duit tinggal selembar aja, itu dijaga luar biasa seolah itulah rizki terakhir yang Tuhan berikan. Semakin besar rasa memiliki, semakin besar pula rasa takut akan kehilangan. Dulu pernah tuh pas lagi cinta-cintanya sama si Teteh, bawaannya khawatir mulu takut ngecewain dia, takut bikin dia marah, bikin dia kesel, atau bikin dia gak bisa nerima kelebihan yang belum mampu menutupi kekuranganku. Rasa takut paling klimaks adalah takut dia berpaling ke yang lain. Apalagi jika takutnya adalah takut ketika melihat dia jatuh ke pelukan orang lain. Aku sebel. Hikmahnya, terlalu tinggi rasa memiliki hanya akan menyebabkan kekecewaan yang mendalam ketika gagal mendapatkannya. Itu.

Semua ini milik Allah, akhuuyaa ukhtuuyaa..... Dari Allah kembali ke Allah. Di daerah Tamin ada sebuah tanah lapang di antara rumah-rumah penduduk. Ada papan kayu menyangga selembar banner ukuran 1x1 m, bertuliskan: 

"Tanah ini milik Allah, yang dititipkan kepada Tuan Fulan. Tidak untuk dijual!"


Gebleg! Mempertahankan tanah sepetak aja Tauhidnya maknyos. Waktu masih di pondok, Ustadz Ade, guru Tauhid, pernah bilang, kita gak bisa mengaku-ngaku semua barang dunia ini milik kita ada tanpa terbesit bahkan tertanam dalam hati bahwa semua ini milik Allah yang kebetulan diamanahkan sama kita. Namanya juga milik Allah, ya suatu saat kalau Allah pengen ngambil ya pasti diambil. Dan kita sebagai pihak yang dititipi harus wayahna. Begitupun dengan kita yang pola hidupnya saling titip-menitipkan, kalau ada yang nagih utang ya wajar, karena yang punya lagi butuh barang yang pernah diutanginnya.


"Itu hape punya siapa? Punya saya!" 


Jawaban macam ini perlu diberi sighat, hape ini punya Allah yang dititipkan kepada saya. Jadi jelas kan kalau ada pertanyaan "Itu pacar siapa?" dan jawabannya "pacar temen," berarti dia adalah penikung yang telah mencuri titipan Allah dengan cara batil, hina, dan terkutuk.


Soal kehilangan hape ini, saya jadi kepikiran berlarut-larut. Saya jadi kepikiran masa-masa di mana betapa sabarnya nunggu berbulan-bulan supaya bisa nabung demi hape baru. Duit masih dikit aja, hampir tiap buka youtube nontonnya review hape keluaran anyar yang kadang mustahil kebeli. Bahagia aja gitu, seolah-olah setiap beres nonton review, hasrat untuk beli hape baru terpuaskan. Khususnya soal Redmi ini, banyak orang yang sudah direpotkan. Waktu itu beli di Bandung, yang beli Aswien dan Nika. Ada yang ngebatalin pengajiannya, ada yang ngebatalin acara organisasinya, demi nyari Redmi di BEC. Udah gitu hujan pula dan dikejar waktu mengingat sore itu Pak Cecep akan bertolak ke Cairo dari Bandung. Biar bisa nitip gratisan. Haduh ripuh. Dan si Haromy ngambil hape gitu aja, tanpa permisi, tanpa memikirkan bagaimana perjuangan di balik hadirnya hape tersebut. 


Karena kehilangan bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, maka kita yang tidak tahu apa-apa soal masa depan harus banyak melakukan persiapan dan tindakan-tindakan prefentif. Misalnya, jangan nyimpen hape di tas/jaket yang mudah dijangkau pencopet, jangan ngoprek hape di jalan, apalagi bukan sekali dua kali jambret bertuktuk (tuktuk: bajay Mesir) melakukan ulahnya dengan kondisi korban sedang mainin hape sambil jalan. Jika barang berharga ada di ransel, simpan ransel di bagian depan tubuh ketika naik bis atau metro padat penumpang. Begitupun dengan keamanan kita yang berkaitan dengan keimigrasian. Kalau gak bisa bawa paspor karena takut hilang, bawa fotokopiannya, atau bawa kartu mahasiswa, atau lebih fleksibel pastikan di hape kamu ada foto/scan paspor halaman depan dan foto stempel visa izin tinggal. Jadi kalau ada pemeriksaan polisi atau tentara, gak usah lari kaya Mang Jamil dan Mang Emil, tunjukin aja foto paspor itu. 

Ada bagian yang mengherankan dari tragedi hilang hape ini. Kehilangan adalah momentum kesedihan. Tapi kenapa tadi pagi Emil minta tasyakuran? Ocad juga minta syukuran? Kalian semua congkak, aku penuh dosaahh! Musibah saya adalah sebuah kesyukuran bagi Emil, karena video dia pake rok, video pake gamis, video nyanyi Kun Anta di Inul Vizta, dan video lagi ganti celana tidak akan lagi mampu jadi kartu saya buat menaklukkan dia. Ya meskipun hape hilang, tapi Emil perlu ingat bahwa di balik semua perbuatannya akan selalu dicatat malaikat Munkar, Nakir, dan Saya. hoho...

Akhirnya saya lewati hari pertama tanpa hape. Alhamdulillah masih hidup. Katanya, hape di zaman sekarang ini adalah setengah nyawa manusia. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, hape punya peran yang amat sangat penting. Bagaimana tidak, bangun tidur saja harus laporan ke Path. Kamu aja kalau mau pergi tapi hape ketinggalan, kamu rela balik lagi meski sudah 1/3 jalan. Ketika kita benar-benar melepaskan diri dari cengkraman hape, ada semacam ketenangan yang tidak pernah hadir sebelumnya. Biasanya, pagi-pagi udah banyak notif, sekarang tidak ada. Apalagi kalau notifnya dari Pak Subhan atau Pak Atdik, wuihhh horor menn.... Ekspektasinya bangun pagi dapet notif ucapan selamat pagi dari gadis masisir yang suka muncul di akun ig @masisir_solehah, bukan dari bapak-bapak yang isinya udah seperti copy paste tiap waktu: kerjaan layout sudah selesai? kirim secepatnya ya!

Saya jadi mikir, apakah ketika saudara kita sedang sakit di Rohingya, atau yang terluka di Palestina, rasa kehilangan ini sama besarnya dengan ketika kita kehilangan hape? Konsep Yasyuddu ba'dhuhu ba'dha yang kita pelajari itu belum benar-benar mendarah daging jika kita masih woles dengan kondisi 'bagian tubuh' kita yang sedang kehilangan kemerdekaannya, kebebasannya, kenikmatan beribadahnya, bahkan kehilangan nyawanya.

Ah Tuhan, mengapa untuk sebuah tulisan di blog saja, hamba harus kehilangan hape kesayangan. Padahal bagian belakangnya baru saya pasangi cutterme pola batik biar dikira orang ada dekorasi covernya. Tuhan, kok kamu giniin aku sih? Aku tahu kenapa kamu giniin aku, supaya aku istigfar dan salawat lagi kan? Supaya aku gak diemin kamu pas waktu pagi dan sore kan? Ih Tuhan, Kamu so sweet.... Kamu mah suka cemburu ya kalau aku lebih suka chattingan dari pada baca quran? Atau cemburu karena ngeliat aku betah main Get Rich pas waktu adzan? Iya, Tuhan, iya.... aku minta maaf. Aku tahu aku ceroboh. Hanya Kamu tuhanku yang maha segala, sementara aku hanyalah hamba penuh dosa.

Eh, tapi Tuhan, kira-kira kapan ya kamu mau ngasih hape baru buat aku? Yang baru, Tuhan, bukan second!

_________
26 November, 2016.

Komentar