Tidak ada yang lebih membahagiakan lahir
batin selain bisa difollow akun @ridwankamil. Kenyataan itu membuat saya
seperempat gila menjalani hari di mana begitu puasnya bisa membully Ocid, Kime,
Yuda, Bupati Mang Agop, Ikhwan Rajeng, dan siapapun yang waktu itu jadi panitia
acaranya Kang Emil tapi gak ditakdirkan untuk dipolbek. Sungguh kasian.
Ingin sekali mengubah tagline di Instagram
jadi “@maulanaisme: Satu-satunya akun Masisir yang difollow @ridwankamil”, tapi
hal itu terkesan terlalu congkak. Akhirnya saya urungkan niat bodoh itu, dan
melampiaskannya dengan sedikit berbisik kepada para panitia yang kelelahan:
“hey, aing dipolbek ku Kang Emil, sia dipolbek teu? Oh henteu nya, sorry.”
Sebagai manusia normal, tentu kita atau saya
tak pernah merasa puas dengan apa yang sudah dilakukan. Misalnya, saya ingin
sekali mengulang acara Bincang Santai bersama Ridwan Kamil beberapa bulan lalu,
jadi moderator lagi, dan merevisi beberapa pertanyaan, beberapa adegan,
beberapa catatan, bahkan banyak hal yang tidak seharusnya terjadi malah
terjadi. Tapi barangkali, dengan kesalahan dan kekeliruanlah, kita belajar dan
menyadari sesuatu yang takkan disadari dan dipelajari jika tidak pernah salah.
Bukankah seharusnya juga begitu dalam urusan menjalin hubungan? Kesalahanlah
yang selama ini mendewasakan sebuah hubungan. Jadi, maukah kamu meremidial
hubungan kita? *loh
Ridwan Kamil adalah candu, setidaknya bagi
anak-anak muda saat ini. Candu karena sosoknya, inovasinya, kepemimpinannya,
kearsitekannya, kegantengan anaknya, kecantikan istrinya, atau hanya karena
caption di setiap unggahan fotonya atau cuitan Twitternya. Semua tentang Ridwan
Kamil adalah sesuatu yang mudah dicari saat ini, di manapun, kapapun.
Kehadirannya sebagai Walikota semi seleb dirasa telah memenangkan sesuatu di
hati publik. Kendati tak seheboh koplo pantura, kehadiran Ridwan Kamil cukup
diminati untuk didengar cerita, inspirasi, dan cara ia membahagiakan warganya
di mana-mana.
Pertanyaan pertama yang saya ajukan saat itu
berkaitan dengan fenomena besarnya antusiasme publik terhadap dirinya.
Menurutnya, hal itu terjadi hanya karena orang Indonesia kekurangan sosok,
kekurangan teladan, kekurangan pemimpin yang berani menggebrak dan merakyat.
Merakyat dalam artian bukan hanya ikut makan bersama orang miskin, atau foto
sedang mencangkul bersama petani di sawah, tapi merakyat dalam kenyataan bahwa ada
separuh penduduk Indonesia adalah anak muda yang di usia produktifnya terisi
dengan berbagai problem anak muda yang barangkali selama ini tak tersentuh oleh
pemimpin yang ada.
Indonesia adalah negara yang saat ini berada
di persimpangan takdir, kata Kang Emil. Kita yang menentukan ke arah mana akan
membawa Indonesia. Dalam survey yang dilakukan National University of
Singapore, jika Indonesia dijaga ekonominya dalam level 5% pertahun,
diprediksikan Indonesia akan menjadi 3 besar negara dengan kekuatan ekonomi
terbesar di dunia pada tahun 2030. Di rentang 2030-2045, idealnya umat Islam
adalah muslim-muslim yang kompetitif, yang produktivitasnya menjadikan semua
barang di dalam negeri merupakan produk dalam negeri semua. Poinnya, bukankah
jika kita tingkatkan produktivitas dan kualitas diri dari sekarang, prediksi
baik itu akan datang lebih cepat?
Masalahnya, kemajuan suatu negara bukan hanya
soal ekonomi dan pendapat per kapitanya, tapi juga mental masyarakatnya. Saya
mengalami hidup di Mesir di mana Jalan Mostafa An Nohas masih berupa rel Kereta
Trem, lalu dibongkar jadi jalan beraspal, menjadi jalur khusus bis umum, setiap
persimpangan dipasang lampu merah, sampai saat ini ada CCTV di setiap
persimpangan. Tapi apakah semua fasilitas yang terkesan mengalami kemajuan itu
dibarengi dengan mental para pengguna jalannya? Lampu merah masih diterobos,
tidak ada aturan penyeberang jalan,
kendaraan berhenti sesuka hati, bahkan polantas menilang pengendara tidak di
pinggir jalan tapi di tengah jalan, menunjukkan bahwa memajukan mental
masyarakat jauh lebih sulit dibanding memajukan fasilitas publik.
Salah satu yang bisa kita lakukan untuk
meningkatkan kualitas mental kita adalah dengan banyak membaca buku dan
mendiskusikan ide dan gagasan, bukan mendiskusikan kejadian dan kesalahan
orang. “Susah memabaca mengakibatkan orang mudah emosian. Dan orang yang
emosian merupakan lahan subur untuk berita-berita hoax,” ujar Ridwan Kamil.
“Tinggikan argumentasi, bukan volume suara.” Lanjutnya.
Kepemimpinan Indonesia di era ini
tantangannya bukan lagi soal bagaimana kita menyusun strategi melawan penjajah
asing. Hal semacam itu sudah tutup buku sejak lama. Kepimimpinan yang
dibutuhkan adalah bagaimana mengelola sumber daya yang saat ini dimiliki,
apalagi dalam konteks keindonesiaan, begitu banyak hal yang berdaya jual tinggi
di mata dunia ada di Indonesia. “Dunia itu menunggu kepemimpinan yang datang
dari Indonesia yang humble dan berani” kata Kang Emil.
Menjadi humble dan berani tersebut memang
tidak semua pemimpin mampu menerapkannya. Banyak orang yang terjebak dalam
tatanan teori semata. Padahal, mahfudzat yang selama ini kita hafal saja
menyebutkan, “dilalatul hal afshoh min dilalat maqaal” (contoh
perbuatan/tindakan lebih utama dari contoh perkataan). Apalagi dengan adanya
fakta bahwa kepemimpinan di Indonesia tidak terlahir dari sebuah penaklukan
kerajaan, atau pembebasan dan revolusi, tapi berupa kepemimpinan yang datang
orang kebanyakan. Siapapun dengan latar belakang apapun punya kesempatan yang
sama untuk menjadi pemimpin masyarakatnya. Hanya bermodal bisa menjadi contoh
bagi yang lain, jadi teladan yang berpengaruh, dan mampu menggiring masa dari
kesadaran negatif menuju kesadaran positif.
Ing madyo mangun karso, filosofinya.
Dalam konteks kemasisiran, Kang Emil melihat
potensi besar yang tidak dimiliki oleh mahasiswa lain di tempat lain. Di
antaranya, Masisir punya sumber keilmuan yang kuat dan ‘original’, punya
referensi dakwah yang mumpuni, tinggal diberi sentuhan kreativitas untuk
menjadikan aset itu sebagai dakwah dalam konten yang kreatif. Kita semua harus
sadar bahwa masyarakat dunia saat ini sudah tidak lagi semuanya tertarik dengan
dakwah metode ceramah yang diawali dengan mukaddimah panjang, dari suara
seorang guru yang sudah sepuh, atau membaca buku yang sajiannya seperti membaca
disertasi mahasiswa filologi yang mengkaji naskah kuno di abad Firaun sedang
bingung nyari Homestay kosong di Alexandria.
“Bantu saya dakwah Islam dengan konten yang
kreatif kepada warga Bandung dan 6 juta lebih follower saya.” Katanya.
Poinnya, lanjut Kang Emil, kita tak perlu
mengubah arah untuk memberikan perubahan dan pengaruh positif bagi lingkungan
sekitar. Ia seorang arsitek yang mengerahkan kemampuan arsitekturnya untuk
memperbaiki tata kota dan pemerintahan. Bukankah kita yang belajar Syariah,
Ushuluddin, Humaniora, juga bisa melakukan hal senada untuk mempercantik
lingkungan kita, mempercantik masa depan kita?
Yang terpenting, tegas Kang Emil, perlu adanya komitmen untuk menjadi pemimpin di manapun dan kapapun. Pemimpin macam apapun akan selalu dikomentari beragam orang. Benar dianggap pencitraan, salah malah dibully. Bahkan, menurutnya, hal itu yang dikhawatirkan dan ditakutkan oleh banyak orang, termasuk teman-teman Masisir, menjadi takut untuk terjut ke dunia politik dan melakukan perubahan melalui dunia politik.
Terakhir, jika Kang Emil membaca tulisan ini,
saya sarankan untuk ke Mesir lagi barang beberapa hari. Perjalanan tiga hari di
Mesir tidak cukup mampu mewakili bagaimana indah atau kurang indahnya Mesir.
Habiburrahman El Shirazi saja butuh delapan tahun untuk mengatakan bahwa Mesir
itu indah dan ngangenin. Sementara Kang Emil yang hanya berkunjung tiga hari,
rasa-rasanya belum kapabel untuk menerjemahkan Mesir dalam beberapa kata atau
kalimat. Mari Kang, ke sini lagi! Saya ingin ngajak Kang Emil ngopi di
Pasanggrahan, kebetulan karpetnya baru saya bersihin, tembok-temboknya juga
baru dipasangi bunga-bunga kertas biar tambah ahiw. Satu lagi, selain dipolbek,
saya juga mau direpost. Captionnya yang simpel-simpel aja. "Mahasiswa ini
sedang mencari seseorang buat 'temenan aja dulu'."
08 Agustus 2017.
Komentar
Posting Komentar