Mengukur Panas Musim Panas di Amerika

Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta? Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?"

MemoarTeater Musikal Gebyar Parahyangan VI




Ketika para penonton berdiri di atas kakinya masing-masing, lalu tepuk tangan riuh bergemuruh mengantarkan kebahagiaan satu demi satu memenuhi ruangan, saya menyepakati pikiran saya sendiri bahwa pentas ini tak seharusnya berlalu dengan cepat.

Bagi saya pribadi, Gebyar Parahyangan (GP) memiliki makna lebih dari sekadar pentas kebudayaan dalam durasi empat jam. Sebelum dan setelah empat jam itu terjadi, ada ribuan jam kontemplasi dan proses kreatif dari setiap pelaku dalam lingkaran tersebut. Dari kursi penata musik, misalnya, mengawal laju bebunyian untuk sebuah lagu yang ditampilkan adalah produk dari pengalaman ini itu, dan berbagai kali percobaan yang tak kelar sekali dua kali latihan. Bahkan dalam keseharian, segala bebunyian yang disaksikan pendengarannya akan selalu teralamatkan untuk mengonsep acara. Begitupun bagi kawan-kawan yang duduk di kursi penata musik, konseptor desain panggung, juru masak, tukang nyari dana, dan tukang-tukang lainnya. 

Menjadi penulis naskah adalah pekerjaan yang memaksa saya untuk mendalami lakon lebih dulu dari aktornya sendiri. Tentu saja ada banyak kekhawatiran, seperti tidak mampu menguasai adegan, gagal memaknai apa yang bersembunyi di balik teks, dan fatalnya, mengakibatkan para pemain akan melakukan kesalahan-kesalahan dalam menerjemahkan naskah.

Sepura-pura apapun drama atau teater, tentu saja siapapun, baik pelaku maupun penikmatnya,  tidak ingin melihat segala sesuatu yang terjadi di atas pentas hanya sebatas “pentas pura-pura”.  Yang saya sendiri inginkan adalah para aktor tampil dengan penghayatan pada perannya, sehingga dialog keluar sebagai kata-kata yang bermakna. Yang akan tersaji tidak hanya bentuk semata, tapi juga berwarna dengan ragam gesture, ekspresi yang sesuai takaran, phrasing kalimat dan kata yang tidak keliru, serta blocking yang disertai dengan motivasi tidak asal bergerak.

Tahun 2014 lalu adalah awal mula belajar menulis naskah untuk acara ini. Waktu itu, GP disajikan dalam bentuk Talkshow. Tentu saja talkshow fiksi. Lalu tanpa sadar, mengonsep acara kebudayaan menjadi candu, capek tapi nikmat, bahkan menagih untuk lagi dan lagi. Sejujurnya, semangat ini tak pernah semembara ini ketika menyiapkan acara lainnya.

Lalu seiring berjalannya waktu, naskah 2014 juga dipentaskan di tahun 2015. Hanya mengalami beberapa penyesuaian dan perubahan tokoh. Di tahun berikutnya, saya berhenti menjadi penulis naskah, bahkan tidak sama sekali berkontribusi dalam GP selain jadi penonton. Jika terpaksa harus tetap eksis, tahun itu hanya membantu Emil menulis naskah monolog Tukang Cilok yang ditampilkan di GP 5. Barulah di GP kali ini, saya kembali merasa berhasrat untuk nulis lagi, ngelamun lagi, bergerak lagi meski hanya dan akan selalu sebagai orang di balik layar.

Saya berterima kasih kepada Ziyad, Girnik, Iping, Rofi, dan Irsal yang dengan keikhlasan hatinya telah mau saya “apa-apain”. Tidak bisa dipungkiri, bahwa tak ada yang paling sulit diatur gerakannya selain Girnik, atau tak ada yang paling sulit diatur tempo bernyanyinya selain Iping. Tapi semua kesulitan yang telah dilalui, sedikit banyak telah membuat ceritanya masing-masing. Ada sisi di mana saya tak cukup percaya diri untuk melakukan lelucon-lelucon gila, adegan konyol, atau ekspresi hiperbolik lainnya, dan kalian telah mengisi sisi itu dengan sangat baik.

Kepada tim penata musik yang sejak acara ini dikonsep, saya menitipkan begitu banyak beban. Begitupun dengan Perlengkapan, Acara, dan bagian-bagian lainnya yang tak bisa terpisahkan, saya ucapkan terima kasih telah melibatkan saya dalam kebahagiaan ini.



Saya atau siapapun pelaku dalam acara ini, disadari atau tidak, telah belajar banyak hal baru, wawasan baru, pengalaman baru, pertemanan baru. Kepada Allah lah, semua itu kita titipkan, semoga kelak dapat kembali dimanfaatkan untuk menjadi manfaat yang lebih besar. Amin. 

11 November 2017.

Komentar

  1. Istimewaa pak direk ! 😀 berkaah.

    BalasHapus
  2. Sedikit terharu tulisan “ bangkit hasrat lagi nulis di GP VI “ nuhun pak direk ! Bangga jdi anak buah dirimu wkwk

    BalasHapus
  3. Haturnuhun sebadag-badagnya mang maul 🙇 Hehehe

    BalasHapus
  4. Hatur nuhun bapak penulis naskah :)

    BalasHapus
  5. Mantap mantap, mabruk, tinggal nyari jodoh

    BalasHapus

Posting Komentar