Khutbah Jumat - Lima Tingkatan Balasan Amal Manusia

Khutbah I Puncak dari keistimewaan seorang hamba dalam melakukan suatu pekerjaan adalah ketika amal/pekerjaan itu diniatkan hanya untuk Allah Swt. Akan tetapi dalam perjalanannya, mencapai tingkatan itu tidak selalu mudah bagi setiap orang. Karenanya para ulama banyak membolehkan jika ada di antara kita yang melakukan suatu pekerjaan, atau suatu amal, dengan mengharapkan pahala atau balasan yang Allah janjikan.  Ada banyak ayat dan hadis yang menunjukkan bentuk dan tingkatan balasan bagi amal yang dilakukan seorang hamba. Rasulullah saw. sendiri dalam salah satu hadisnya menyebutkan tingkatan-tingkatan tersebut. Antara lain dalam hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani: الْأَعْمَالُ خَمْسَةٌ: فَعَمَلٌ بِمِثْلِهِ، وَعَمَلٌ مُوجِبٌ، وَعَمَلٌ بِعَشْرَةٍ، وَعَمَلٌ بِسُبْعُ مِائَةٍ، وَعَمَلٌ لَا يَعْلَمُ ثَوَابَ عَامِلِهِ إِلَّا اللَّهُ   “(Balasan) bagi amal-amalan/pekerjaan itu ada lima (tingkatan). Ada amal yang dibalas dengan yang semisalnya, ada amal yang mewajibkan, ada amal yang d

Apa Bedanya Mesir dan Pakistan?

Alhamdulillah saya terpilih jadi delegasi PPMI Mesir untuk ikut SI Timtengka di Pakistan. Kenapa saya mau? Karena saya delegasi PPMI dan delegasi itu katanya gratis. Biaya acaranya ditanggung PPMI dan tiket+visanya ditanggung KBRI. Syukur-syukur dapet uang jajan. Kalau gak gratis, ngapain ke Pakistan? Mau khuruj?

Jumlah pengeluaran pokok yang saya habiskan untuk ke Pakistan adalah 8000 pound untuk tiket pesawat, 850 pound untuk visa, dan 100 USD untuk biaya acara. Semua itu saya bayar dengan ragu-ragu, karena kata PPMI: bayar pake uang sendiri dulu. Ternyata keraguan saya berbuah jawaban yang bikin greget. PPMI hanya nanggung 50 USD untuk biaya acara, dan KBRI hanya ngeganti 4000 pound untuk tiket. Visanya? gak ada. Saya bingung nih, karena itu duit tabungan mahar. Jadinya  harus benci dulu atau marah dulu? Marahnya sama PPMI atau sama KBRI? Kita serahkan saja sisanya kepada netijen.

Sebenarnya bukan itu yang mau saya tulis, karena ditulispun rasa-rasanya tidak akan membuat Pak Dubes mau nge-umrohin saya. Kali ini saya mau jawab pertanyaan yang paling banyak ditanyakan orang-orang: apa bedanya Mesir dan Pakistan?

Tata Kota

Pakistan menurut saya adalah penengah antara Indonesia dan Mesir. Beberapa bagian mirip dengan Indonesia, beberapa lainnya mirip Mesir. Macet dan amburadulnya lalu lintas mirip Mesir, tapi kehijauan lingkungannya mirip Indonesia. 

Ibu kota pemerintahan Pakistan adalah Islamabad. Sebuah kota buatan yang dikelilingi oleh perbukitan. Ibu kota buatan ini berntuknya persegi panjang, terbagi menjadi beberapa distrik, dan mudah untuk dihafal karena peta distriknya punya pola yang sama. Kota buatan ini punya tata kota yang terencana. Jalanan luas, penghijauan kota sangat terencana, banyak taman, dan yang utama adalah tidak ada polusi udara karena jalanan yang luas tersebut hanya terisi oleh kendaraan yang sedikit.

Lain cerita dengan Rawalpindi, sebuah kota pinggiran padat penduduk di selatan Islamabad. Di Rawalpindi lah, Mesir dan Indonesia menemukan kemiripannya. Jalanannya sempit seperti di Subang, kendaraannya padat seperti di Bekasi, macetnya parah seperti di Cairo, ada perang klakson antara supir teez (tuk-tuk/bajay), motor, bis, dan truk, dan sepanjang pinggir jalan terdapat kabel listrik yang semrawut menjuntai ke sana ke mari. Tak luput dari pandangan, sampah menghiasi berbagai sudut jalan dan trotoar. 

Pemandangan yang sama juga saya dapati di Kota Lahore (6 jam perjalanan ke arah selatan dari Islamabad) dan Muree (3 jam perjalanan ke arah Utara dari Islamabad). Sedikit kurang tertata, jadi greget pengen ngewali-kota-in.

Uniknya di kota ini, layanan Careem tidak hanya mobil, tapi juga motor (motor terbaru di Pakistan adalah motornya Dilan), dan Tuktuk. Mungkin supir Tuktuk di Pakistan sedikit lebih melek teknologi dibanding supir Tuktut di Mesir.

Pariwisata


Faisal Mosque, Islamabad
Pariwisata di Pakistan nampaknya tidak begitu menggeliat dan tidak menjadi fokus utama pemerintahnya. Dampaknya adalah minimnya turis asing yang berkunjung ke negara Ali Jinnah tersebut. Menemukan bule adalah sesuatu yang langka, tidak semudah menemukan bule di Mesir. Kemana-mana, kita jadi tontonan penduduk setempat. Kalau sudah deket dikit, mereka minta foto lalu minta akun facebook. Mereka masih zaman facebookan, ketika saya buka facebook hanya untuk liat Pasar Mesir nyari hape second.

Di Kedutaan Pakistan yang ada di Mesir sendiri, tidak ada satupun media promosi wisata. Baik itu brosur ataupun media lainnya. Malah kantor konsulernya masih bagusan gudang kantor Atdik di KBRI dibanding itu. Seandainya dikelola dengan baik, Pakistan punya potensi pariwisata yang tak kalah menarik dari negara tetangganya, India. di Islamabad ada Masjid Faisal (terbesar kelima di dunia) yang bangunannya ikonik dan fotogenik. Masjid ini punya halaman yang luas, katanya bisa menampung 100.000 jamaah. Salah satu yang bikin betah dari masjid ini adalah terdapat halaqah anak-anak kecil yang setoran hafalan Alquran hampir setiap hari. Mereka masih imut-imut, lucu-lucu,  hafalan qurannya banyak, jadi pengen punya ibunya, pokoknya betah berlama-lama di sana meski hanya basa-basi dengan kemampuan bahasa yang berbeda dan mendengarkan hafalan mereka meski hanya beberapa penggal.

Lok Virsa, barisan jendela untuk melihat Islamabad dari atas.
Dari sisi timur Islamabad, terdapat monumen di atas bukit yang melambangkan jumlah provinsi di Pakistan. Namanya Lok Virsa. Monumen ini sekaligus menjadi spot untuk menikmati pemandangan Islamabad dari atas. Datang ke sini sore hari adalah waktu yang pas, karena selain untuk menikmati matahari tenggelam, lampu-lampu yang mulai memulas kota menjadi pemandangan tersendiri yang patut diabadikan.

Di bawah perbukitan Lok Virsa, sebuah danau menghampar menjadi genangan perairan tengah kota, Rawal Lake. Di sisi danau terdapat taman yang luas, taman burung beraneka rupa, wisata naik unta dan kuda, dan arena bermain yang lumayan lengkap, dari boom-boom car sampai ayunan paling ekstrem di dunia (karena besi pengamannya nampak karatan).

Monumen Pakistan di Lok Virsa

Di luar Islamabad, ada banyak pariwisata yang sangat ingin saya kunjungi. Misalnya Mohenjo Daro, sebuah kompleks reruntuhan kerajaan dari masa Indus Valley. Gara-gara sekuel film Mohenjo Daro, saya tertarik untuk ke sana, tapi ternyata zona merah, alias terlarang untuk turis. Ada juga Kashmir, sebuah bentangan lembah hijau tempat menggembala dombanya Bajrangi Bhaijaan. Itu kan spot bagus buat Instagram, tapi zona merah juga. Di bagian utara terdapat Gunung K2, gunung tertinggi kedua setelah Everest. Gunung ini punya magnet wisata yang kuat untuk turis mancanegara, tapi nampaknya pemerintah tidak memandang itu sebagai sebuah potensi yang sangat harus untuk dikembangkan.

Menikmati hamparan salju dengan Chairlift di Ayoubia, Muree.
Wisata lain selain keliling Islamabad adalah mengunjungi perbukitan bersalju di Ayoubiyah, Muree. Dari Islamabad perlu menempuh perjalanan 3 jam dengan medan berliku dan menanjak. Pengalaman berharganya adalah kami menyewa mobil dan merasakan sensasi menyetir di jalanan bersalju. Becek dan licinnya bikin greget, antara degdegan tapi seru. Medan seperti itu memang lebih cocok dengan mobil 4x4, tapi karena budget pas-pasan, bisa patungan nyewa city car juga udah uyuhan.

Pemandangan di atas bukit Ayoubia takkan mengecewakan. Dengan menaiki Chairlift seharga 250 rupees (sekitar 28 ribu rupiah), kita bisa menikmati perbukitan yang tertutupi salju, dan hamparan pegunungan dari kejauhan yang berwarna putih menyejukkan.

Selain Muree, kami juga mengunjungi Lahore. Ada Masjid Badsahi yang merupakan saudaranya Taj Mahal di India. Dibuat oleh orang yang sama. Taj Mahal untuk istrinya, Badsahi untuk Ibunya. Ada pula Jahangir Tomb, sebuah kuburan pahlawan setempat yang sangat kaya akan batu-batuan akik. Di samping kedua tempat itu, terdapat Lahore Street Food yang menawarkan berbagai aneka makanan khas yang unik dan enak.

Bagian dalam Badsahi Mosque, Lahore.

Satu jam ke arah timur dari sana, saya mengunjungi Wagah Border alias perbatasan darat antara Pakistan dan India. Setiap sore hari, perbatasan tersebut ramai dikunjungi orang-orang untuk menyaksikan seremoni penurunan bendera dan penutupan gerbang internasional. Tentara Pakistan itu tinggi-tinggi, tentara India itu ternyata pendek-pendek. Udah pendek, India lagi. *loh. Di kedua sisi perbatasan terdapat tribun penonton seperti stadiun bola. DI tribun itulah, kita duduk menyaksikan upacara adu kesombongan antarnegara. Upacara itu dilaksanakan memang kesepakatan kedua negara sebagai simbol persaingan kedua negara.

Tentara India di batas gerbang negara.

Pakistan punya embel-embel Islamic Republic, jadi yel-yel yang diteriakan pun sangat kental akan itu. Ada Takbir, ada kalimat Tauhid dan "MaasyaAllah" di gerbang negara, dan ornament-ornament bercorak Islam di arsitektur bangunannya. Berlawanan dengan Gerbang dan Tribun India yang sangat Hindu, dan sejujurnya terlihat lebih mewah dan wah.

Sebagian gerbang India yang masih dalam proses pembangunan.

Makanan

Yang saya sukai dari Pakistan adalah makanannya. Tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan cita rasa khasnya. Ada roti Naan, Chicken Karahi, Lassi (yogurt), Nashta (mirip kerupuk kulit), Biryani (mirip nasi Hadra Maut), Rujak Masara (buah segar dicocol ke garam kentut, garam yang entah dicampur apa sampai baunya seperti kentut), dan beberapa makanan lain yang tak tahu namanya. Masakan Pakistan hampir sama dengan India yang kaya akan bumbu dan rempah. Beraneka daun saya temukan di masakan mereka, di luar daun jeruk dan daun salam yang saya ketahui. 

Tidak ada rumah makan Indonesia di Pakistan, sayangnya. Jika ingin santap bakso, mie ayam, atau daging rendang, biasanya mahasiswa Indonesia di sana inisiatif bikin sendiri. Mengumpulkan orang Indonesia untuk kumpul bikin bakso bukan hal yang sulit, karena jumlah mahasiswa Indo di Pakistan hanya dalam kisaran 150 orang. Satu grup Whatsapp juga belum penuh. Jika kamu jadi Presiden PPMI Pakistan yang memimpin 150 mahasiswa, maka jabatan itu setara dengan Bupati Bandung di KPMJB Mesir, atau Ketua Angkatan Maba Al-Azhar tahun 2013.

Makanan lokal juga masih menjadi raja di kalangan masyakatnya sendiri, yang salahs atu dampaknya adalah kecilnya minat penduduk lokal untuk mengonsumsi produk luar. Bisnis makanan seperti Mc Donald, KFC, Dunking Donuts, Pizza Hut, punya sedikit peminat bahkan sepi. Ada beberapa produk sejenis yang dimiliki oleh orang Pakistannya dan terbukti lebih laku dengan cabang di mana-mana.

Banci Pakistan

Salah satu pengalaman menarik yang saya alami selama dua minggu di sana adalah digoda banci Pakistan. Malam itu saya sedang nunggu Uber di depan sebuah tempat ngopi. Ubernya tak kunjung datang, eh ada dua 'gadis' menor menghampiri. Tubuhnya tinggi, make up tebal, parfum menyengat, memakai pakaian yang masih standar tertutup (baju lengan panjang, cenala legging ketat, dan selendang di pundak), dan rambut panjang bergelombang. Saya menyadari bahwa itu bukan wanita sesungguhnya ketika ia bicara dengan bahasa Urdu, suaranya agak berat. Diperhatikan dengan seksama, ternyata ada jakunnya. Spontan saya ngajrut menghindar. Terus menghindar sampai supir Uber tiba. Ketika saya masuk mobil, 'gadis' agresif itu mencoba menahan kaca pintu mobil yang saya tutup buru-buru. Dan tanpa diduga, 'gadis' itu menjulurkan bibirnya ke kaca mobil, meninggalkan jejak lipstik di kaca jendela. Ciuman banci itulah yang menemani perjalanan pulangku menuju Guest House. Ih. 

Di Mesir sendiri belum pernah saya temukan ada banci. Karena mungkin, untuk menjadi banci Mesir adalah sesuatu yang cukup sulit, terlalu banyak bulu yang harus dikerik.

Salah satu kesamaan antara orang Mesir dan Pakistan adalah rasa nasionalisme yang tinggi. Mereka punya kebanggaan akan negaranya dengan cara yang hiperbolik bahkan buta data. Kecuali bagi mereka yang pernah ke luar negeri, atau mengalami pendidikan yang baik, mereka lebih realistis. Orang pakistan sangat bangga dengan negaranya. Sering mengklaim sepihak sebagai negara terbaik di dunia, punya ibu kota negara terbersih di dunia, dan sebagainya. Mereka mengklaim punya mall terbesar di dunia dan membuat saya penasaran. Namanya The Centaurus. AKhirnya saya ke sana karena penasaran, dan ternyata hanya sebesar Genena di Cairo. Uniknya masuk mall harus beli karcis. Ada juga klaim Kebun Binatang terlengkap di dunia. Saking lengkapnya, kucing aja dikandangin. 

Kesamaan lainnya antara orang Mesir dan Pakistan adalah punya aroma yang khas. Jika saya naik taksi dan mobil dan supirnya wangi, saya kasih langsung bintang lima. Mau dia ngebut, mau dia ugal-ugalan, it doesn't matter. Kenapa begitu, karena mencari orang lokal yang wangi adalah sesuatu yang menurut saya sulit. (Tuhan, maafkan kerasisan ini....). Kalau orang Mesir kan bau-baunya agak asem seperti bawang campur tomat. Kalau orang Turki aromanya rada-rada pait. Nah kalau Pakistani ini seperti santri yang lagi kurap ditabur herocin. Ahggg....

Kuliah di Pakistan

Kuliah di Pakistan bisa jadi pilihan alternatif bagi kawan-kawan yang mau lanjut studi S1, S2, atau S3. Hampir semua mahasiswa Indonesia di Pakistan kuliah di International Islamic University of Islamabad (IIUI). Mayoritas mengambil Fakultas Ushuluddin, banyak juga yang mengambil umum seperti Psikologi dan Hubungan Internasional. Sayangnya, sulit menemukan beasiswa di Pakistan. Menemukan musaadah juga sulit, tak sebanyak di Mesir.

Beberapa orang tidak merekomendasikan kuliah di Pakistan, karena proses administrasinya sama dengan di Azhar: ribet. Selama bisa diribetin, kenapa harus dimudahin?

Bahkan sedihnya, ada kasus di mana Ijazah S1 Al-Azhar tidak diterima oleh kampus Pakistan. Ada juga yang diterima, sampai tesisnya selesai dan selesai sidang, tapi tidak bisa nerima Ijazah S2-nya gegara administrasi yang ribet itu.

Hampir semua mahasiswa Indonesia kuliah dengan biaya sendiri. Per semester biaya rusumnya kisaran 3 juta rupiah, dan biaya hostel/asrama 6 juta rupiah belum termasuk makan. Masih lebih murah Asrama Indonesia yang 50$ per bulan kan?

Semua mahasiswa tinggal di asrama, karena nyewa rumah hanya untuk orang kaya. Rumah satu kamar, satu sholah, satu dapur, satu kamar mandi, harga sewanya 240$ per bulan. Rumah yang saya tumpangi tiga lantai (lantai atas jemuran) harga sewanya 1400$ per bulan. Itu belum termasuk nyari isi perut.

Teman saya menanyakan kemungkinan untuk bisa kuliah sambil berkeluarga di Pakistan. Jika bukan Local Staff atau Home Staff KBRI, nampaknya harus agak berpikir ulang. Karena mahasiswa Indo di Pakistan yang sudah berumah tangga, hampir semuanya LDR-an untuk waktu yang lama. Mereka tidak sering pulang ke Indo sebagaimana Masisir, karena belum ada jasa jual bagasi, dan visa mereka hanya single entry. Kalau pergi keluar negeri, mereka harus ngurus visa lagi untuk bisa masuk Pakistan. Tidak seperti visa pelajar Mesir yang bisa keluar negeri kapanpun ke manapun. Tapi soal biaya hidup selain harga sewa rumah, bisa dibilang sama dengan Mesir. Murah dan terjangkau.

Perempuan Pakistan

Pertanyaan yang cukup sering dari laki-laki Masisir yang saya temui, cewek Pakistan cantik-cantik gak? Beberapa memang mirip artis Ashanti, beberapa lainnya mirip Ketua Wihdah yang baru. Untuk lebih detail, japri aja ya. Xoxoxo.

Satu garis yang bisa saya tarik dari perjalanan ini bahwa pengalaman mengenal budaya baru adalah kunci yang membuka banyak pintu wawasan dan pemahaman. Memperkaya cara pandang akan sesuatu, menambah referensi cara berpikir, dan tentunya perjalanan selalu mengajarkan diri saya sendiri untuk menjadi lebih bijak dalam menyikapi berbagai perbedaan.

Ini kunjungan pertama saya ke Pakistan, semoga Allah izinkan untuk kembali bersilaturahmi ke negara ini, dengan perubahan yang lebih baik, negaranya menjadi lebih maju, dan masyarakat Pakistan yang mayoritas muslim mampu memajukan negaranya karena keislamannya. Zindabad!

19 Maret 2018.

Komentar