Sebagai pengamat ketua-ketua Wihdah potensial, saya merasa terdorong untuk maju ke bursa pemilihan Ketua Wihdah tahun ini, sebenarnya. Sayangnya, alam semesta tidak mengizinkan saya untuk maju menduduki kursi Wihdah-1. Padahal, kurang perempuan apa saya ini? Jika sedang julid, kadang saya bisa lebih perempuan daripada perempuan. Tapi tak apalah. Meskipun gagal jadi Ketua Wihdah, tidak berarti saya tidak punya kesempatan untuk berkontribusi. Kalau memang niatnya mau majuin Masisir mah, gak mesti jadi ketua organisasi dulu kan? Jadi blogger juga bisa.
Sejujurnya saya tidak mengikuti hal ihwal Wihdah tahun ini, termasuk Pemilu kali ini. Alasannya sederhana: belajar dari sebelum-sebelumnya juga gak pernah membuahkan apa-apa kan, gak pernah diajak jadi Dewan Pengurusnya juga, jadi ya ngapain ikut ngurusin dan merhatiin Wihdah, ye kan? Tapi ternyata di saat saya sedang bodo amat-bodo amatnya ini, ada satu hal menarik yang terjadi di Pemilu kali ini: jumlah pemilih menurun banyak. Apakah ini pertanda bahwa Wihdah sudah tidak penting lagi di hidup sebagian mahasiswi? ...
Sebagai pengamat ketua-ketua Wihdah potensial, saya merasa terdorong untuk maju ke bursa pemilihan Ketua Wihdah tahun ini, sebenarnya. Sayangnya, alam semesta tidak mengizinkan saya untuk maju menduduki kursi Wihdah-1. Padahal, kurang perempuan apa saya ini? Jika sedang julid, kadang saya bisa lebih perempuan daripada perempuan. Tapi tak apalah. Meskipun gagal jadi Ketua Wihdah, tidak berarti saya tidak punya kesempatan untuk berkontribusi. Kalau memang niatnya mau majuin Masisir mah, gak mesti jadi ketua organisasi dulu kan? Jadi blogger juga bisa.
Sejujurnya saya tidak mengikuti hal ihwal Wihdah tahun ini, termasuk Pemilu kali ini. Alasannya sederhana: belajar dari sebelum-sebelumnya juga gak pernah membuahkan apa-apa kan, gak pernah diajak jadi Dewan Pengurusnya juga, jadi ya ngapain ikut ngurusin dan merhatiin Wihdah, ye kan? Tapi ternyata di saat saya sedang bodo amat-bodo amatnya ini, ada satu hal menarik yang terjadi di Pemilu kali ini: jumlah pemilih menurun banyak. Apakah ini pertanda bahwa Wihdah sudah tidak penting lagi di hidup sebagian mahasiswi? Ataukah Wihdah sudah kehilangan karismanya sehingga tidak cantik lagi untuk dilirik? Sebagai jomblo pemikir yang teman-temannya sudah pada beranak dua, saya berpendapat ada empat faktor penyebab yang memicu rendahnya partisipasi politik rakyat jelita dalam momentum pemilihan umum Wihdah kali ini
Sebelum ke faktor-faktor itu, mari kita bahas jumlah rakyat jelita yang menggunakan hak suaranya secara runut dari beberapa tahun ke belakang. Kita mulai dari Pemilu Wihdah tahun 2016 saja. Tahun sebelumnya gak usah dibahas, lupain saja. Layak dilupakan!
Di tahun 2016, Rahmah Rasyidah sebagai calon tunggal pada masa itu meraih 156 dari total 167 suara. Lalu tercatat di tahun 2017 sebanyak 463 pemilih turut berpartisipasi merayakan Pemilu Wihdah, di mana Nuansa Garini memenangkan kontestasi sebanyak 263 suara. Selanjutnya tahun 2018 ada Tengku Masyitah yang mengantongi 263 suara dari total 537 suara yang masuk. Di tahun 2019, Furna Hubatalillah mencatat rekor di angka perolehan 537 suara dari total 839 suara. Dan sekarang di tahun 2020, di saat jumlah mahasiswi semakin banyak dan sekian persennya pada tiktokan di sosmed, jumlah pemilih hanya 731 orang, dan 329 di antaranya yang masuk ke kantongnya Prawita Andaresti.
Perjalanan dari angka 167, 463, 537, 839, sampai 731 merupakan dinamika yang menarik untuk dipikirkan bersama. Selisih 103 suara antara pemilih tahun ini dengan jumlah pemilih tahun lalu nampaknya bukan jarak yang kecil jika diukur dalam kurva pertambahan dan pengurangan populasi mahasiswi tahun ini. Alasan kenapa dan bagaimana hal ini bisa terjadi, tentu akan muncul di banyak obrolan dan gosip-gosip berteori, namun saya punya alasan-alasan tersendiri kira-kira mengapa jumlah partisipasi politik Wihdah tahun ini melorot cukup jauh dibandingkan target angka ideal.
Faktor pertama adalah kegagalan Furna sebagai Ketua Wihdah. Pernah dengar kutipan “pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu mencetak pemimpin-pemimpin baru”? Nah itu. Kepemimpinan dan kinerja setahun ke belakang adalah alat ukur terdekat untuk melihat bagaimana proyeksi partisipasi politik di Pemilu kali ini. Kita perlu mempertanyakan di manakah letak Wihdah di hati para rakyat jelita. Sedekat dan semerasa penting apakah mereka terhadap Wihdah? Apakah Wihdah memberikan dampak dan pengaruh yang luar biasa bagi kehidupan Masisir dalam kehidupan sehari-hari, bahkan kalau perlu ke titik paling personal bagi mahasiswi? Gambaran itu tentu saja akan mampu terukur jika Wihdah dalam kepengurusan hariannya mampu menampilkan diri sebagai sosok yang menarik, atraktif, serta program dan interaksi hangat dengan anggotanya. Furna di kursi Wihdah bukan semata-mata bermakna jabatan politik, tapi juga mindset dan cara pandang yang disoroti banyak mata. Dan definisi “pemimpin” yang dicetak bukan bermakna ada tiga calon ketua yang bertarung di Pemilu kali ini, tapi “pemimpin” dengan makna di mana semua orang yang berada di lingkaran luas Wihdah perlu merasa terlibat dan ingin terlibat sebagai penggerak roda perubahan.
Faktor kedua yang menyebabkan sedikitnya jumlah pemilih kali ini adalah pemilih mulai jenuh dengan proses demokrasi satu tahunan yang tidak membawa perubahan. Rasanya mau ada Wihdah atau enggak, mahasiswi ketika suka sama cowok tetap harus ikut hukum alam untuk tidak mengungkapkan duluan, sementara Wihdah tidak membantu bagaimana caranya si cowok peka bahwa ada cewek yang berharap dilamar. Lalu perubahan apa yang dihadirkan Wihdah? Apalagi dengan fakta bahwa sekarang ini, perempuan juga sudah turut hadir menduduki Dewan Pengurus PPMI. Wihdah tidak lagi ekslusif sebagai satu-satunya pintu mahasiswi untuk berorganisasi, tapi berubah status menjadi alternatif pilihan yang idealnya setara dengan PPMI. Setara dalam pengaruhnya, setara dalam produk kebijakannya, setara dalam gengsinya.
Faktor ketiga adalah Pemilu Wihdah tidak lagi dipandang mahasiswi sebagai sesuatu yang prioritas atau sangat diperlukan dalam membangun kehidupannya sehari-hari. Ketika ngurus visa bisa dirujuk ke Intif, urusan musa’adah diurusi PPMI, pelatihan merajut ada di keputrian Kekeluargaan, ngaji Fatawa Nisa ada di Ormas, ngaji mingguan bisa ke murobbi, talaqi ada di Ruwaq, lalu ke Wihdah ngapain? Faktor keempat adalah banyak dari kita, dalam pemilu apapun, selalu menganggap memberikan suara dalam Pemilu sebagai hak, bukan kewajiban. Perbedaan persepsi ini yang menyebabkan ketika seseorang tidak punya pilihan ke kandidat tertentu, ia lebih memilih untuk tidak datang ke TPS daripada datang dan memberikan suara putihnya.
Di luar keempat faktor tersebut, rendahnya partisipasi politik ini juga diakibatkan oleh kesalahan teknis yang terjadi di lapangan. Misalnya, panitia acara gagal menyosialisasikan Pemilu dengan baik kepada calon pemilih, atau mengemas acara dengan kemasan yang kurang menarik, atau mungkin tidak punya strategi yang matang soal bagaimana cara efektif membangunkan mahasiswi rebahan untuk mau bangun dan berangkat ke TPS. Lagian panitia ini kenapa sih bikin TPS di Wisma Nusantara? Di tempat yang jauh dari keramaian domisili mahasiswi Indonesia. Kalau pemetaan mahasiswi banyaknya di Asyir, Bawabah, Sabi, Darrasah, kenapa TPS-nya cuma Asyir dan Wisma? Bahkan saya kira tak ada salahnya mengadopsi cara Pemilu Presiden Indonesia tahun lalu. Untuk pemilih jarak jauh, sediakan fasilitas shunduq mutaharrikah alias kotak suara berjalan. Kasian mahasiswi yang di Muqottom atau di Alex, lumayan jauh dan butuh niat loh mereka itu buat sekadar pergi ke Asyir atau Wisma. Kenapa gak panitia saja yang datang ke sana, laksana negara mendatangi rakyatnya, bukan rakyat mendatangi negara.
Sebenarnya ada satu hal yang menurut saya jauh lebih menyedihkan dibanding sedikitnya jumlah pemilih: mobilisasi massa. Ya Tuhan ..... tiap Pemilu PPMI atau Wihdah, pasti Timsesnya pada punya mobil sewaan buat ngangkut massa. Bagaimana mau belajar mendewasakan para pemilih kalau untuk memilihnya saja harus diiming-imingi fasilitas antar jemput ke TPS? Pertama, itu tidak mendewasakan. Bisa jadi pemilih datang bukan karena kesadaran dan kepedulin politiknya, tapi karena fasilitas transportasi gratis. Kedua, kasian calon ketua! Mobilisasi itu butuh biaya besar. Buat sewa mobilnya, bensinnya, supirnya, makan supirnya, parkirnya, dan tektekbengeknya. Uang sebanyak itu daripada dipake mobilisasi yang tidak mendewasakan itu, lebih baik dipake order Cutterme, beli keripik Bandung di Teh Biah, atau makan kenyang di Kisah Kita. Ayolah Masisir, kasian tahu para calon ketua itu. Belum tentu menang tapi keluar modal banyak. Padahal bukan memperebutkan jabatan berduit pula. Temus? Ya Tuhan, bahkan gaji Temus gak akan nutupin biaya operasional jadi ketua selama setahun. Trust me!
Anyway, saya secara pribadi ingin mengucapkan terima kasih kepada Furna, dan sederet ketua Wihdah dan pengurusnya yang lintas periode karena telah menghidupkan Wihdah dengan segala dinamikanya. Jika suatu hari saya ditanya kenapa kita butuh perempuan dalam organisasi? Karena kita butuh pemikiran dan sudut pandangnya yang tidak dimilki otak laki-laki. Pemikiran perempuan sangat dibutuhkan dalam kehidupan berorganisasi dan berpolitik kita, agar setiap kebijakan yang dihasilkan tidak selalu sangat maskulin, dan benar-benar matang di mata semua sisi. Saya ucapkan selamat untuk Prawita yang baru saja terpilih sebagai Ketua Wihdah baru. Selamat juga buat Hilda dan Rahma yang sudah berani selangkah lebih maju dari Masisirwati lain. Saya yakin kalian bertiga belajar banyak dari Pemilu kali ini, terlepas dari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Saya janji gak akan gosipin atau julidin kalian, beneran, mungkin saya bakal sudah pulang alathul juga sebelum Wihdah baru ini turun jabatan. Kecuali kalau ada yang maksa julid, aku bisa apa?
Kamis, 5 Maret 2020.
Wkwkw, kalau ala thuul masih bahas kehidupan masisir kah ? atau mbaknya sudah mencetak blogger2 untuk penerusnya
BalasHapusTerjadi penurunan jumlah pemilih karna kurangny publish dr panitia, dan mobilisasi itu sdh d tetapkan diundang2 diminimalisir hanya cukup 4 mobil dgn kapasitas 6 org penumpang saja .
BalasHapus