Mengukur Panas Musim Panas di Amerika

Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta? Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?"

Cara menjadi lawan bicara yang asik


Bang Saiful menceritakan kenangan pahit ketika ayahnya meninggal dunia, tiga hari setelah ia ditugaskan kerja ke Papua. Ia baru mulai berbenah memulai hidup di tanah timur itu, tapi ia harus kembali pulang ke Bekasi untuk menemui almarhum ayahnya, meski sudah dalam bentuk pusara. Tahlilan belum usai, rumah masih ramai dikunjungi tetangga dan keluarga, tiga hari kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Papua. Kali ini, ia tidak menggunakan pesawat udara, tapi kapal laut. "Sengaja biar lama di jalan, melepas duka," katanya meringkas alasan. Perjalanan satu minggu di atas laut itulah yang rupanya banyak mengubah banyak hal dalam hidupnya. Ia temui sebanyak mungkin orang di kapal, kumpulkan sebanyak mungkin cerita, dan di sela-sela itu semua, ia punya banyak waktu untuk bicara dengan dirinya sendiri soal duka yang baru saja ia hadapi, juga soal arah hidup yang menurutnya harus dipikirkan ulang. 

Cerita itu saya dengar begitu saja, tak lama setelah saya cerita bahwa bapak saya sakit dan alasan saya pulang. Akhirnya cerita kami semakin panjang, saling mencari kesamaan dari dua cerita yang berbeda, yang pada akhirnya kita jadi punya cerita sendiri tentang saya dan Bang Saiful yang bertukar cerita.

Cerita Bang Saiful adalah satu dari sekian banyak cerita yang saya simpan sepotong-sepotong, tak pernah ada yang utuh, tapi potongan-potongan itu ketika digabung dengan cerita yang lain justru menjadi mosaik yang unik dan berwarna. Satu hal yang pasti sejauh ini, bahwa keterbukaan seseorang membagi pengalaman hidupnya, takkan mungkin terjadi jika kita pun tak membuka diri untuk membagikan pengalaman hidup sendiri. 

Saya tidak ahli soal bagaimana cara menjalin komunikasi agar bisa mendapatkan cerita orang lain dengan mudah. Tapi begini. Ada sebuah kutipan jurnal psikologi yang mengatakan adanya hormon Mirror Neuron dalam otak kita. Hormon ini bertanggung jawab dalam menciptakan rasa empati. Kita otomatis tersenyum ketika ada orang lain tersenyum, atau tiba-tiba ingin nangis ketika melihat orang nangis. Mirror Neuron juga menjadi pendorong kenapa kita ingin melakukan hal yang sama atas tindakan yang orang lain lakukan untuk kita. Kita ingin traktir makan seorang teman karena teman itu pernah mentraktir kita makan sebelumnya. Fenomena saling berbalas respon ini terjadi secara alami, bahkan bisa menjadi kebiasaan jika lingkungan sosial kita mendukung pola tertentu dalam tindakan/sikap/perilaku tertentu. 

Menariknya, kita bisa mengendalikan Mirror Neuron ini sebagai satu pola yang bisa kita lakukan agar kita jadi orang yang asik diajak ngobrol di mata orang lain. Nama teorinya "Yes, and." Kalau kita sedang mendengarkan cerita orang lain, kita cukup mengiyakan dan menambahkan cerita serupa yang kita miliki. Contoh sederhana, teman kita bilang "nasi goreng di warung itu enak ya." Biar asik, jangan jawab dengan kalimat "oh.", coba pake pola "yes-and". "Iya emang enak banget, dan mie gorengnya juga gak kaleng-kaleng." Dengan begitu obrolan jadi menarik, bisa lebih panjang, dan kita pun akan meninggalkan impresi yang berbeda setelahnya.

Dulu saya memulai belajar nulis dari puisi lalu cerpen. Lucunya sekarang saya udah gak tau menau gimana caranya nulis cerpen, apalagi puisi. Gara-gara mendengar cerita Bang Saiful, saya jadi kepikiran buat belajar lagi nulis cerpen. Ada akhwat yang mau belajar barengan? *loh

24 Desember 2020 

Komentar