Khutbah Jumat - Lima Tingkatan Balasan Amal Manusia

Khutbah I Puncak dari keistimewaan seorang hamba dalam melakukan suatu pekerjaan adalah ketika amal/pekerjaan itu diniatkan hanya untuk Allah Swt. Akan tetapi dalam perjalanannya, mencapai tingkatan itu tidak selalu mudah bagi setiap orang. Karenanya para ulama banyak membolehkan jika ada di antara kita yang melakukan suatu pekerjaan, atau suatu amal, dengan mengharapkan pahala atau balasan yang Allah janjikan.  Ada banyak ayat dan hadis yang menunjukkan bentuk dan tingkatan balasan bagi amal yang dilakukan seorang hamba. Rasulullah saw. sendiri dalam salah satu hadisnya menyebutkan tingkatan-tingkatan tersebut. Antara lain dalam hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani: الْأَعْمَالُ خَمْسَةٌ: فَعَمَلٌ بِمِثْلِهِ، وَعَمَلٌ مُوجِبٌ، وَعَمَلٌ بِعَشْرَةٍ، وَعَمَلٌ بِسُبْعُ مِائَةٍ، وَعَمَلٌ لَا يَعْلَمُ ثَوَابَ عَامِلِهِ إِلَّا اللَّهُ   “(Balasan) bagi amal-amalan/pekerjaan itu ada lima (tingkatan). Ada amal yang dibalas dengan yang semisalnya, ada amal yang mewajibkan, ada amal yang d

Turats: Mengungkit Masa Lalu, Menerka Masa Depan


Kegiatan saya di hari Minggu malam ini adalah mengikuti Webinar Sejarah Perkembangan Karya Intelektual (turats) Islam di Nusantara yang diadakan Kampus Sanad. Webinar ini dinarasumberi oleh Ahmad Ginanjar Sya'ban, atau dulu saya 'diajari' untuk memanggilnya dengan nama Kang Aceng. Beliau seorang dosen, peneliti, filolog, seorang pro yang nampaknya sudah tertasbih sebagai seseorang yang tidak lengkap kita membicarakan turats nusantara jika tanpa kehadirannya. 

Webinar ini dimulai pada pukul 19.15 sampai 20.30-an lebih sedikit. Dalam durasi yang singkat itu, ada banyak uraian panjang yang saya kira bisa menjadi bab-bab tersendiri sebagai materi webinar tersendiri. Bayangkan, yang kita bicarakan adalah sejarah panjang dunia manuskrip dari abad entah kapan (dalam kenusantaraan mungkin dari abad 16 atau 17-an) sampai masa kini, dengan berbagai dinamikanya tidak mungkin bisa dibahas paripurna dalam waktu satu jam. Tapi sebagai memoar, izinkan saya mencatat apa yang saya tangkap dari pertemuan malam ini.

Kang Aceng mengawali materinya dengan sebuah kutipan dari Grand Syeikh Al-Azhar Imam Akbar at-Thayyib yang satu waktu mengatakan, "turats adalah yang membentuk peradaban umat ini secara keseluruhan. Turats juga yang menjadikan umat Muslim memiliki warisan peradaban yang terbentang mulai dari Andalusia hingga Cina." Turats (manuskrip) dalam pandangan Kang Aceng dan juga pandangan banyak ahli, merupakan akar dari sebuah peradaban. Semakin besar peradaban yang eksis hari ini menunjukkan besarnya akar yang menopangnya dari masa lalu. Peradaban Jepang, Cina, India, Eropa, bisa kuat dan besar sampai sekarang berkat besarnya peran turats di belakangnya. Turats menjadi jembatan bagi generasi saat ini untuk bisa memahami masa lalu, dan merencanakan masa depan dengan baik. Termasuk dalam dunia peradaban Islam, turats telah, sedang, dan akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangka menopang kemajuan peradaban Islam dari masa ke masa. 

Seorang penulis berkebangsaan Jerman, Carl Brockelmann, menulis berjilid-jilid buku berjudul "Geschichte der arabischen Literatur" (1909) / "History of Arabic Literature" yang berisi tentang muatan informasi turats Arab dari masa ke masa berdasarkan konten kajian dan bidang studinya, bahkan lengkap dengan lokasi di mana manuskrip tersebut bisa ditemukan. Buku ini, meski ditulis oleh seorang orientalis, merupakan satu bukti betapa kayanya dunia manuskrip Arab, lebih spesifiknya Islam, yang telah banyak memberikan kontribusi bagi dunia keilmuan dan pengetahuan. Lalu berikutnya karya luar biasa itu ditandingi oleh kehadiran buku "Geschichte des Arabischen Schrifttums" karya Fuat Sezgin, seorang peneliti Turki yang tak lain dan tak bukan merupakan muridnya Carl. Percakapan intelektual guru dan murid yang tertuang dalam bentuk karya ini merupakan khazanah yang, menurut Kang Aceng, layak ditiru. Murid boleh tidak setuju dengan pendapat gurunya, namun ketidaksetujuan itu diterjemahkan ke dalam sebuah karya yang memperkaya khazanah keilmuan.

Ada banyak peneliti, orientalis, dan akademisi yang melakukan kajian manuskrip ini hampir selalu menjadikan Arab sebagai pusaran utama objek kajian. Sementara Indonesia sebagai negara yang notabene memiliki jumlah muslim terbesar di dunia, selalu menjadi arus pinggiran yang dipandang sebelah mana. Bagaimana sebenarnya eksistensi dunia turats Nusantara? Ada atau tidak? Berpengaruh atau tidak? Bergaung atau tidak? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu yang menjadi bahan bakar semangat Kang Aceng yang sejauh ini konsisten melakukan kajian manuskrip Nusantara dan menggaungkannya dari satu webinar ke webinar lain, termasuk dalam pertemuan virtual kali ini.

Dalam pemaparannya, Kang Aceng banyak menyebutkan contoh ulama Nusantara yang pernah menulis buku-buku fenomenal dalam berbagai bidang, yang kualitsnya diakui sampai mancanegara. Misalnya ada nama Syekh Nawawi al-Bantani yang banyak menulis kitab tentang Ilmu Fikih. Dalam bidang Ushul Fikih ada nama Kyai Sahal Mahfudz yang spesifik menulis pandangannya sebagai alim Madzhab Syafi'i, ada juga nama Syekh Muhammad Arsyad, Syekh Soleh Darat, Kyai Soleh Lateng, dan lain-lain. 

Ulama Nusantara banyak melakukan kegiatan literasinya dengan melahirkan banyak sekali kitab sejak abad 16 atau 17 lalu, namun sayangnya khazanah intelektual tersebut belum terkodifikasi dengan baik sehingga ada banyak manuskrip yang hari ini tidak banyak diketahui. Kang Aceng memberikan satu contoh kasus tentang eksistensi cucu Syekh Nawawi Banten yang bernama Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Bantani, sebagai seorang ulama yang punya karya fenomenal yang namanya layak dipublikasikan generasi sekarang. Abdul Haq ini orang Indonesia yang lahir, besar, dan meninggal di Makkah. Ia menulis kitab tentang gramatika dan morfologi bahasa Arab yang kualitasnya diakui banyak pihak, bahkan sampai diajarkan dan disebarluaskan di banyak negara Arab, seperti Mesir, Suriah, Lebanon, Turki, Persia, dan lain-lain. 

Ada juga manuskrip karya Kyai Ahmad Kusyairi yang menulis Nazhom Tanwirul Hija dari Syarh Safinatun Naja. Karya ini dipandang bagus dan sempurna bahasa dan isinya oleh Mufti Madzhab Maliki asal Makkah, Mufti Sayyed Muhammad Ali. Bahkan sampai dibuatkan kitab syarh-nya untuk manuskrip yang satu ini. Kyai Kusyairi bukan orang Arab, namun kemampuannya menulis dalam bahasa Arab sampai bisa diakui oleh orang Arab merupakan satu kebanggaan yang patut ditonjolkan dalam dinamika manuskrip Nusantara. 

Contoh lainnya adalah kitab Siraj al-Thalibin karya Syeikh Ihsan Dahlan Jampes (1952) yang sampai saat ini dijadikan sumber dan bahan ajar Syeikh Prof. Dr. Ahmad al-Hajin, seorang Guru Besar Tasawuf di Universitas Al-Azhar Kairo. Syeikh Jampes tidak punya pengalaman belajar di Timur Tengah, namun kemampuannya menuangkan ilmu dalam bentuk karya luar biasa bahkan sampai dijadikan bahan kajian oleh orang Timur Tengah sampai sekarang merupakan suatu keistimewaan.

Manuskrip Nusantara punya alasan tersendiri mengapa ia harus eksis dalam kajian manuskrip Islam secara umum. Para orientalis, peneliti, cendekiawan, dan kita sebagai orang-orang terpelajar, sudah selayaknya berbangga diri dengan khazanah intelektual ulama Nusantara yang terabadikan dalam banyak manuskrip Nusantara yang belum semuanya terekspos dengan baik. Dari sisi isi dan kualitas, manuskrip Nusantara punya keistimewaan dalam hal kajiannya, yang tak kalah mutu dengan manuskrip yang ditulis oleh orang Arab. Keistimewaan lainnya ada pada sisi penggunaan bahasa lokal. Ada bahasa lokal Melayu, Jawa, Sunda, Makassar, ada juga sistem penulisan aksara Arab Pegon, yang mana hal tersebut tidak ditemui dalam khazanah turats Timur Tengah. Dari segi isi, ada bahasan-bahasan yang hanya bisa kita temui dalam turats Nusantara. Misalnya dalam bidang Fikih, dalam bab pembagian zakat fitrah yang harus menggunakan makanan pokok setempat, ulama Indonesia Timur memberikan kajian apakah zakatnya harus beras, atau sagu, atau gandum sebagaimana orang Arab punya makanan pokok. Atau dalam bab harta waris, karena sejak zaman dulu perempuan Indonesia bekerja dan turut membantu ekonomi rumah tangga, ada bahasan fikih untuk menyisihkan dulu harta kepada istri sebelum dibagikan kepada ahli waris. Bahasan-bahasan seperti itu hanya bisa kita temukan dalam turats ulama Nusantara dan tidak ada dalam turats Arab secara umum. 

Seiring dengan perkembangan zaman yang nyatanya juga diiringi oleh tipisnya kesadaran generasi sekarang untuk mendekat dan mengakrabkan diri dengan dunia turats Islam, Kang Aceng menutup materinya dengan usulan beberapa hal perlu dilakukan agar turats tidak punah, dan peradaban semakin pesat. Pertama, perlu adanya gerakan digitalisasi manuskrip ulama Nusantara sehingga siapapun bisa punya akses yang lebih mudah untuk membaca dan mengkaji turats lintas zaman. Kedua, kita perlu melakukan publikasi ulang turats ulama Nusantara dengan tentunya melakukan penyuntingan teks (karena banyak manuskrip tulisan tangan yang mungkin sudah hilang titiknya, sebagian hurufnya, dsb.) agar bisa tersaji dengan format penulisan masa kini yang bisa dipahami dengan baik. Artinya kita perlu membuat formula agar turats ini tentang kontektual di zamannya dulu dan kini.

Mengingat besarnya peran dan urgensi dari turats bagi dunia kita hari ini, pesantren masih dipandang sebagai salah satu media yang sejauh ini paling efektif untuk mengenalkan dan mengekalkan khazanah turats. Yang perlu dikembangkan lebih lanjut adalah bagaimana cara kita mengenalkan dunia turats ini kepada masyarakat non-pesantren agar semua orang bisa sama-sama tahu pentingnya turats bagi kehidupan kita hari ini.

Terima kasih Kang Aceng dan Kampus Sanad, malam ini saya lewati dengan banyak faedah yang menyenangkan. 

Minggu, 07 November 2021.     



Komentar