Meja Makan Bu Febri

Ketika pertama kali bertemu Bu Febri di kantin basement kantor, Maret 2023 lalu, saya mendapati kesan bahwa ia adalah sosok yang judes, galak, dan dingin. Waktu itu Pak Ario memperkenalkan saya sebagai staf baru, dan responnya nampak biasa saja. Tidak nampak antusias, tidak nampak menyambut, biasa saja. Saat itu ia sedang menikmati menu takjil, kebetulan kami berkenalan di saat acara buka puasa bersama. Tentu saja kudapan takjil lebih menggoda dibanding berkenalan dengan staf baru ini. Setelah basa-basi pendek soal nama panggilan saya, pertanyaan pertamanya menggelegar cepat: “Lu bisa ngedit video, gak? Kalo bisa, nanti bisa bantuin Arya di Pensosbud.” Saya gak tahu jawaban apa yang ia harapkan dengan pertanyaan “bisa ngedit video”, dan saya tidak tahu siapa manusia bernama “Arya” tersebut. Apakah yang dimaksud adalah sebatas cut & trim video , atau editing sebagaimana jika ia melihat konten video Bu Retno Marsudi yang saat itu masih Menteri Luar Negeri. Waktu itu saya belum menjaw...

Sapiens di Ujung Tanduk: Potret Manusia Modern di Dunia Digital - Review Buku



Judul Buku: Sapiens di Ujung Tanduk

Pengarang: Iqbal Aji Daryono

Jumlah halaman: 176 hlm.

Tanggal terbit: 2022

Penerbit: Bentang Pustaka

ISBN: 9786022918981, 6022918987

Bacaan berbobot dengan penyajian bahasa yang ringan dan mudah dicerna. Iqbal Aji Daryono dalam buku ini berhasil memberi gambaran bagaimana manusia zaman sekarang di dunia digital. Melalui 30 esai yang termuat dalam buku ini, Iqbal mencoba memotret kondisi manusia modern di ruang digital, berdasarkan pengamatan jeli atas hal-hal yang terjadi di kehidupan sehari-hari. Jika dilihat secara umum, buku ini adalah contoh bagaimana isu-isu budaya dan media didokumentasikan dalam bentuk tulisan yang ringan sekaligus kritis.

Secara garis besar, ada dua hal yang disoroti oleh Iqbal, yaitu soal fenomena rendahnya literasi masyarakat dan fenomena kecanduan viral.

Menurut Iqbal, muncul fenomena banjir informasi yang tidak dibarengi dengan kemapanan literasi di kalngan masyarakat. Rendahnya literasi masyarakat dalam menyerap informasi telah menyebabkan banyak kesalahpahaman dan reaksi berlebihan pada isu-isu yang, bisa jadi, tidak seharusnya mendapatkan tanggapan. Sebagai penjelas dari opini-opini yang ia utarakan, ia banyak menghadirkan contoh bagaimana masyarakat awam literasi ketika dihadapkan pada informasi tertentu.

Kecanduan viral juga menjadi penyakit baru yang muncul di banyak warganet hari ini. Ada guru yang sengaja merekam proses mendidik anak didiknya, semata-mata bukan karena esensi pembelajarannya, namun sangat nampak ingin tersorot kamera dan dikenal orang. Kritik yang sama nampaknya berlaku untuk dilontarkan ke para politisi yang melakukan kerja sosial di lapangan, atau pemuka agama yang tujuan viralnya jauh lebih besar dibanding tujuan dakwahnya.

Ada satu teori yang saya temukan dalam buku ini, yaitu terminologi "echo chamber".  Term ini merujuk pada kondisi ketika apa yang muncul di algoritma Medsos kita hanya konten yang ingin kita baca/lihat. Dalam konteks isu politik, ada baiknya kita ikuti sumber-sumber digital yang sepemikiran dengan kita, juga sumber-sumber yang berseberangan. Hal ini bertujuan agar algoritma kita menyajikan beragam cara pandang sehingga kita tidak rentan reaktif terhadap isu-isu tertentu.

Echo chamber ini berpotensi buruk pada masyarakat awam yang minim literasi, karena mereka menjadi rentan terjerumus pada anggapan bahwa pemikiran yang keukeuh dianutnya, misalkan jika pemikiran itu salah, maka algoritma media sosial membuatnya merasa mendapat banyak dukungan.

Lebih jauh, Iqbal berpendapat bahwa berkumpulnya orang-orang dengan pemikiran yang sama akan menunpulkan kreativitas, juga berpotensi melenyapkan peluang munculnya ide-ide jenius dan cemerlang. Sementara di tengah hituk pikuk informasi, kita cenderung berkumpul dengan orang-orang yang berpendapat sama. 

Dari awal sampai akhir, Iqbal seringkali memberikan contoh kondisi warganet di platform Facebook. Platform ini memang masih banyak sekali penggunanya, meskipun bagi saya pribadi dan bagi generasi usia saya, nampaknya platform ini tidak cukup relevan. Begitupun jika pembaca bukunya adalah anak-anak SMP atau SMA saat ini, di mana mayoritas mereka beraktivitas media sosial di Tiktok, tulisan-tulisan di buku ini menjadi sedikit tidak terkait dengan profil pembacanya.

Buku ini membahas hal-hal serius dan sedikit bumbu humor. Lagi-lagi soal selera, humor yang disajikan bisa jadi menggelitik bagi sebagian orang, bisa jadi "garing" bagi sebagian yang lain.

Salah satu kutipan yang menarik antara lain: 

“Mereka tak paham kualifikasi informasi. Mana informasi yang akurat dan mana yang mencurigakan, mana yang sesuai standar jurnalisme dan mana yang asal ditulis.” (Hlm. 140).

Komentar