Kelakar Tinggal di Amerika tapi Gak Mahir Berbahasa Inggris

Meski hidup berpuluh-puluh tahun di Amerika, ternyata banyak pendatang yang gak mahir berbahasa Inggris. Semangat untuk sukses di perantauan memang besar di kalangan perantau, tapi semangat untuk belajar adalah hal yang lain. Ada kalanya saya heran ketika ngobrol dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika, tapi kok bahasa Inggrisnya biasa saja. Padahal eksposur terhadap bahasa Inggris sangatlah tinggi. Dari sesederhana disapa orang di jalan, slogan dan petunjuk arah di tempat umum, sampai hal-hal yang kompleks seperti ketersediaan buku, media, tontonan, sampai komunitas-komunitas akademik, semuanya serba bahasa Inggris dan sangat mungkin untuk bisa diakses. Tapi kalau dipikir-pikir, orang Indo yang tinggal di Indo berpuluh-puluh tahun pun tidak ada garansi mereka bisa mahir berbahasa Indonesia. Entah bahasa lisannya atau tulisannya, gak jarang kita temui orang-orang Indonesia yang belibet dan sulit dimengerti ketika berkomunikasi dengan bahasanya sendir

Telusuri Musim Semi di Rock Creek Trail


Seorang penerjemah Arab suatu waktu pernah menerjemahkan puisi "Sonnet" karya William Shakespeare yang berkisah tentang summer (musim panas), namun dengan gaya yang menjadi bahasan para linguist. Dalam terjemahannya, ia menerjemahkan kata summer menjadi kata robii', yang dalam bahasa Arab berarti musim semi. Pengalih-terjemahan ini semata-mata bertujuan untuk menghadirkan gaya terjemahan yang lebih bernilai puitis di mata dan telinga pembaca Arab. Hal ini juga didasarkan pada kondisi musim panas di negerinya Shakespeare punya udara dan suasana yang sepadan dengan musim semi di Arab.

Gagasan itu muncul tiba-tiba ketika saya menyusuri Rock Creek Trail di sepanjang Twinbrook ke Needwood Lake, Rockville. Menyusuri jalur kecil beraspal, saya banyak "bicara sendiri" soal betapa menyenangkannya musim semi di negeri ini, sekaligus mengingat-ingat hal-hal menyenangkan ketika mengalami musim semi di Arab.

Tulisan ini tidak akan bicara soal sastra Arab dan puisi Shakespeare. Intro di atas hanya sebatas prolog tentang apa yang pertama kali terpikirkan ketika saya, untuk pertama kalinya, masuk ke hutan Rock Creek yang ternyata punya banyak kejutan di dalamnya.

Jika kita ambil foto suasana hutan itu, lalu mempostingnya di media sosial, banyak orang yang akan salah kira bahwa foto-foto itu diambil di Amerika. "Amerika ada hutan juga, ya?", "Gak beda jauh sama di Indo!", dan komentar-komentar senada lainnya banyak bermuculan di japrian. Rock Creek sebagaimana hutan dan belantara di Indonesia, punya banyak pemandangan hijau yang serupa dengan Indonesia, utamanya di saat musim semi seperti sekarang ini. Bahkan menariknya, ada banyak sekali hewan yang berkeliaran bebas di hutan ini, meskipun notabene hutan ini masih berada di lingkaran kota besar Washington D.C., Sang Ibukota Negara.


Dalam rute 16,5 km yang saya tempuh hari Minggu kemarin, saya bertemu tiga ekor rusa, satu ekor unggas yang tak tahu namanya (berkaki kurus tinggi, berparuh seperti bangau, warna putih berarsir merah/pink, lalu ia terbang ketika saya hampiri. Mungkin flamingo, mungkin juga bukan), serombongan bebek, rupa-rupa burung, dan puluhan tupai yang berloncatan di sana-sini. Bahkan di beberapa minggu terakhir, muncul berita di media lokal tentang adanya seekor beruang yang ditangkap aparat karena dikhawatirkan berpotensi menyakiti warga. Kehadiran beruang dan hewan-hewan ini menunjukkan betapa nyamannya hutan Rock Creek sebagai habitat mereka, dan betapa menariknya negara ini punya area yang hijau padahal hanya berjarak sekian kilometer dari keramaian pusat kota.

Saya membayangkan, mugkin Ibu Kota Nusantara di Kalimantan sana akan punya perwujudan seperti ini juga nantinya. Sebuah kota modern yang dikelilingi area hijau yang luas. Bahkan saya punya ekspektasi IKN akan jauh lebih bagus dari Washington dan Rock Creek. Sebab jika melihat eksistensi Rock Creek dan Washington sebagai kota, saya masih terkagum-kagum, betapa tertata dan terencananya kota ini. Punya space yang luas, lumayan tertib dan tertata, dan khususnya di musim semi ini, kota ini indah sekali. Ada banyak bunga bermekaran, berwarna-warni di banyak sudut.

Sejauh yang saya tahu saat ini, Rock Creek adalah hutan kota (bahkan disebut sebagai Taman Nasional) yang membentang lintas negara bagian, dari Maryland sampai Washington D.C. Hutan ini merupakan paru-paru kota yang membuat ibu kota negara ini tetap terasa segar, minim polusi, kaya oksigen, dan punya ruang kolektif yang bisa dimanfaatkan publik untuk ngadem secara gratis.


Nampaknya, Rock Creek akan menjadi area healing saya di Amerika ini. Jika saya sedang ingin berlari, jalan kaki, bersepeda, atau mulai ikut-ikut tutorial yoga dan meditasi, Rock Creek akan menjadi opsi yang, sebagaimana orang-orang telah lakukan, akan saya kunjungi.

Semoga suatu hari Purwakarta dan area seputar Jakarta bisa punya Rock Creek versinya sendiri.

Senin, 15 Mei 2023.

Komentar