Mengukur Panas Musim Panas di Amerika

Minggu ini nampaknya menjadi minggu terakhir bagi Washington DC mengalami musim panas. Cuaca panas dan lembab sudah tidak muncul lagi, bahkan minggu ini didominasi mendung dan hujan. Jauh sebelum musim panas tiba, saya selalu menebak-nebak akan sepanas apa musim panas di negeri ini. Akankah sepanas Kairo? Atau seperti Madinah? Atau mungkin sama dengan Jakarta? Saya ingat di suatu musim panas 2018 lalu, cuaca waktu itu sedang 42-44 derajat celcius di Kairo. Saat itu saya sedang menjalani ujian semester dua dari jam 10 pagi sampai 12 siang, bertepatan dengan bulan ramadan. Tepat jam 2.15 siang, saya punya jadwal kursus bahasa Inggris yang tempatnya butuh waktu 1,5 jam perjalanan dengan kendaraan umum dari kampus Al-Azhar di Darrasah, menuju tempat kursus di Tagammu Khamis. Dengan tenaga tengah hari sisa-sisa ujian Azhar, bersama cuaca yang demikian panasnya, plus sedang puasa, saya berangkat ke tempat kursus dengan pertanyaan yang berulang-ulang, "batalin gak, ya? Kuat gak, ya?"

Seni Menyikapi Hal-Hal Dadakan

Kata “dadakan” di tempat saya sekarang punya makna yang beda dengan “dadakan” di tempat dulu, dan saya pernah berkelakar itu ke teman-teman di tempat kerja sebelumnya. 

Dulu, acara serba dadakan itu artinya kita dikasih tugas dadakan untuk melakukan sesuatu di hari H, hanya beberapa jam sebelum acara berlangsung. Misalnya tiba-tiba disuruh jadi MC, tiba-tiba disuruh bikin presentasi, tiba-tiba berubah susunan acara padahal acaranya sedang berjalan, atau pernah juga jam 11 hari Jumat tiba-tiba ditelepon untuk jadi khotib Jumat di masjid kompleks sebelah.  Sementara dadakan di sini masih dalam jangka H-5, H-2, paling mentok H-1. Makanya saya ngerasa cukup aneh pada orang yang acaranya masih sebulan lagi tapi ia masukkan kategori “mendadak jadi gak sempet bikin ini itu”.

Mungkin kalau jenis acaranya besar, semacam kedatangan menteri atau presiden, memaknai Ha Min sebulan bisa saja disebut mendadak. Tapi untuk hal-hal teknis semacam tiba-tiba ada instruksi bikin desain flyer untuk acara minggu depan, kayanya terlalu lebay untuk memasukan itu ke dalam kategori dadakan, setidaknya untuk saya.

Tugas-tugas dadakan memang selalu ada, dan akan selalu ada. Apalagi jika kita hidup dengan kesadaran bahwa dunia ini begitu dinamis dan perubahannya begitu cepat, sangat wajar jika dalam pekerjaan kita akan ada banyak hal dadakan yang harus bisa dituntaskan dengan cepat. Respon pada tugas dadakan pada awalnya pasti ngeluh dan dagdigdug, tapi lama-lama mental dan skill jadi terlatih untuk bisa kerja sat set. 

Hal ini sebenarnya bukan hanya soal kultur lingkungan kerja yang berbeda, tapi menurut saya, lebih pada bagaimana kita mempersepsikan sesuatu. Persepsi itu penting, dan saya merasakan betapa besarnya dampak persepsi ini pada bagaimana kita melakukan kegiatan sehari-hari. Pekerjaan yang sama bisa terasa beban jika dipersepsikan sebagai beban. Pun pekerjaan yang sama bisa terasa biasa saja jika dipersepsikan biasa saja. Tidak hanya dalam pekerjaan, dalam hal apapun, persepsi ini penting. Dalam agama, kita yang muslim percaya bahwa Allah itu sesuai dengan apa yang kita sangkakan. Kata Imam Ahmad dalam salah satu hadisnya, Allah akan berbuat kepada hamba-Nya sesuai dengan persangkaannya. Nah, mungkin karena kita berprasangka suatu pekerjaan adalah beban, maka Allah membuat pekerjaan itu memang jadi beban. Sebaliknya, kita berprasangka pekerjaannya menyenangkan, ya Allah pun buat itu jadi menyenangkan.

Teori semacam ini memang terdengar mudah diucapkan, tapi praktiknya nampak tidak mudah bagi semua orang, termasuk bagi saya sendiri. Ada masanya kita mengedepankan keluh alih-alih mencoba dan membangun antusias dalam melakukan sesuatu. Lebih bahaya lagi jika kita menularkan keluhan kita pada orang lain yang belum dan akan mencoba apa yang sudah kita lakukan. Misalnya, saya bisa saja mengatakan bahwa belajar bahasa Inggris itu sulit dan bikin pusing pada orang yang baru akan belajar bahasa Inggris. Tapi di saat yang sama, saya juga punya opsi untuk bilang bahwa belajar bahasa Inggris adalah hal yang menyenangkan dan mudah untuk dipelajari, meskipun tentu saja dalam perjalanannnya akan ditemui hal-hal yang bikin pusing dan butuh keseriusan ekstra.

Cara pandang dan persepsi yang berbeda ini juga bisa menjadi alasan kenapa kita mau berteman atau tidak mau berteman dengan seseorang. Ada orang yang tiap ketemu selalu mengeluh soal gaji yang kecil, menjelek-jelekan atasan, mengutuk tugas-tugas, dan itu dilakukan tiap ketemu. Tiap ketemu bawaannya selalu negatif, seolah-olah ngajak kita untuk resign sesegera mungkin. Tapi ada juga orang yang bawaannya selalu positif, santai, menyenangkan, menenangkan, yang secara tidak langsung ngajak kita jadi lebih banyak bersyukur dan antusias menjalani hidup. Posisi kita bisa saja dalam kondisi yang memengaruhi orang, bisa juga yang dipengaruhi orang.

Dalam posisi yang mana pun, punya persepsi yang positif tentu akan menghasilkan sesuatu yang positif juga. Semisal dalam kondisi mendapat tugas dadakan, sebenci apapun kita pada tugas-tugas dadakan, kayanya selalu ada pilihan untuk menyikapi hal dadakan itu dengan persepsi yang positif.

12 Juli 2023



Komentar