Seperti Ibnu Batutah, Saya Kembali ke Kairo

Ketika saya masih sekolah di Kairo, ada satu indikator yang secara tidak tertulis menjadi penanda bahwa seorang mahasiswa Indonesia termasuk “anak orang berada”: orang tuanya bisa hadir di acara wisuda. Dalam konteks ribuan kilometer jarak dari Indonesia ke Mesir, dan ongkos perjalanan yang tidak murah, kehadiran orang tua dalam seremoni akademik itu bukan hanya bentuk kasih sayang, tapi juga simbol kekuatan finansial. Di antara banyaknya mahasiswa yang bahkan belum tentu pernah bertemu langsung dengan orang tuanya sejak pertama kali menjejakkan kaki di negeri para nabi ini, mereka yang bisa memeluk keluarganya saat kelulusan adalah pemandangan langka sekaligus mewah. Indikator lainnya juga mudah dikenali: punya kamar sendiri di rumah kontrakan, atau bahkan menyewa satu rumah untuk ditempati sendirian. Ini terdengar sepele, namun di tengah-tengah mahasiswa Indonesia di Mesir yang mayoritas hidup menghemat, tinggal sendirian di sebuah rumah tanpa patungan adalah sebuah kemewahan yang ti...

Adopsi Ilmu Salat, Ayo Menulis Puisi!



Suatu hari, seorang hamba tengah sibuk memersiapkan kado untuk kekasihnya. Dengan senyum yang ia persiapkan seindah mungkin, ia kemas kado itu dengan kertas yang menurutnya paling baik, puisi paling indah, dan suasana hati yang menggebu. Betapa dambaan hatinya telah membuat hamba itu begitu kasmaran, bahkan rela berlama-lama mengemas kado tersebut,mengoreksi berulang-ulang agar tak ada cacat yang dikhawatirkan akan mengecewakan kekasihnya. Kado istimewa tersebut bernama solat.
Ya, solat adalah hadiah istimewa bagi kekasih terbaik , Allah swt. Dalam solat, kita mencurahkan segala isi jantung kita kepada Allah, mulai dari penghambaan, urusan dunia dan akhirat, perlindungan, dan berbagai macam permintaan. Dan semua itu, disadari atau tidak, diungkapkan dengan diksi yang sangat indah.  Bacaan dalam solat tersusun dari pilihan kata yang tepat dan sarat makna. Sebagai contoh, doa “robbiigfirlii (ampunan), warhamnii (kasih sayang),  wajburnii (pencukupan kekurangan), warfa’nii (pengangkatan derajat),  warzuqnii (rizki),  wahdinii (petunjuk), wa-aafinii (kesehatan),  wa’fuannii (permintaan maaf) ” dalam duduk antara dua sujud itu tidak hanya berbicaranya seorang hamba terhadap Tuhannya, tapi kita lihat betapa tepat sasarannya doa tersebut dengan segala apa yang kita inginkan. Dalam solat, dapat dipastikan tidak ada kesan bertele-tele ketika suatu keinginan dituangkan ke dalam sebuah kata, kalimat atau frasa. Sehingga, segalanya disampaikan secara lugas, padat, namun tetap liteter.  Menurut Hawe Setiawan, kalimat terbaik adalah mengungkapkan sebanyak mungkin dalam sesedikit mungkin kata. Kekuatan solat itulah yang kemudian diadopsi dalam dunia perpuisian.  

Bagi sebagian orang, menulis puisi masih digolongkan bagi hanya segelintir orang saja. Padahal, puisi adalah bahasa terbaik bagi ‘orang’ untuk mengungkapkan nikmat kehidupannya dalam segala hal. Puisi memang bukanlah sebuah hukum yang masuk dalam daftar wajib berkehidupan sosial, agama, atau budaya. Penyair kontemporer Godi Suwarna mengatakan, inti dari segala keindahan adalah puisi. Menulis puisi itu sederhana, namun tetap berkarisma. Bukankah pelaksaan solat pun bisa dikatakan sederhana namun tetap berkarisma?
Pemula dalam menulis puisi, banyak ditemui kata-kata yang mendayu, sok romantis, bahkan terkesan lebay. Kebiasaan buruk semacam ini yang terkadang membuat unsur docer (memberi nikmat), movere (menggerakan), dan delectare (mengajarkan)  dalam puisi menjadi pudar, sehingga orang yang menikmatinya pun harus rela berkali-kali mengernyitkan kening, demi meraih apa yang dimaksud sang penyair dalam karyanya itu. Maka, dalam fenomena semacam ini, sudah saatnya kita belajar menulis puisi (lagi) kepada ahlinya, solat. Dalam solat, bahasa yang digunakan bukanlah lema yang idiomatic, sehingga orang awam sekalipun tahu maksud dan tujuannya. Begitupun dalam puisi, tak perlu menggunakan kata-kata yang hanya ada dalam hutan belukar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karena indahnya puisi, tidak selamanya berada dalam posisi itu.
Belajar Mengakui
Melaksanakan solat adalah mengakui kehadiran Allah. Dan menulis puisi adalah mengakui kehadiran kehidupan. Artinya, solat bukan semata-mata menaati perintah dan aturan, tapi berarti mengakui kehadiran Allah sebagai tempat bergantung kita. Dan menulis puisi tidak semata-mata mendefinisikan segala hal dalam susunan kata-kata yang indah, tapi berarti mengakui kehadiran kehidupan. Ketika kita menulis puisi tentang hujan, berarti kita tengah mengakui kehadiran hujan. Ketika puisi bercerita tentang galau, berarti puisi sedang mengakui kehadiran galau. Jadi, jangan katakan anda mengakui si A sebagai teman, sahabat, atau kekasih anda,  jika belum menulis puisi untuknya. Wa allahu a’lamu.


Komentar