Khutbah Jumat - Empat Hal untuk Menggapai Kesempurnaan Puasa

Khutbah I Kesempurnaan Puasa شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْققَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ Hadirin rahimakumullah Puasa adalah salah satu upaya kita untuk menggapai ketakwaan. Setelah segala upaya kita dalam menjalankan puasa, mulai dari bangun sahur, menahan lapar dan dahaga, menahan nafsu, serta mengisi puasa ini dengan berbagai kerja-kerja kebaikan, kita sangat berharap bahwa puasa kita bisa berjalan dengan sempurna. Sempurna dalam waktunya: waktu imsaknya, waktu iftarnya, hari mulainya, juga hari lebarannya. Pun sempurna dalam pelaksanaannya.  Dalam kesempatan yang baik ini, khatib ingin bicara tentang kesempurnaan puasa dari segi pelaksanaanya. Ba

Mencintai Perbedaan

Hasil gambar untuk perbedaan

Awalnya memang mencari persamaan, tapi pada akhirnya mulai mencari perbedaan. Begitulah akhir kisah tragis para jomblo bermula. Sama-sama suka nulis, sama-sama suka musik, sama-sama daerah tinggal, sama-sama organisasi, lalu persamaan itu dijadikan dalih bahwa kita jodoh dan cocok. Tapi persamaan itu tidak selamanya mengabadi dalam hubungan sosial. Bahkan anak kembar pun selalu ada bedanya. Yang satu cantik, yang satu lebih cantik. Yang satu bisa masak tapi gak tau resep, yang satu gak bisa masak tapi tahu banyak resep. Yang satu suka atlet bola, yang satu suka Inul Daratista. Ketika persamaan dalam hubungan tidak lagi mampu dipertahankan, dan doi sudah mulai menunjukkan kebalikan di antara keduanya, maka apa yang harus disikapi dari sebuah perbedaan?

Dalam buku Ikhtilaf baina al-Muslimin karya Dr. Jamal Alfarouk Jibril Mahmud, salah seorang dosen Fakultas Dakwah di Al-Azhar, di kalimat pengantarnya mengatakan dan menekankan bahwa perbedaan adalah fitrah manusia. Perbedaan adalah satu dari sekian banyak ciri  dari kebesaran Allah yang Ia anugerahkan untuk manusia. Maka, bagaimana jika kita mulai saja segalanya dari hal yang berbeda? Ratusan milyar manusia dengan beragam isi kepala tidak bisa disatukan dan dibariskan dalam garis merah yang sama. Jika manusia memang diciptakan dalam persamaan yang seragam, sangat mungkin Allah ciptakan manusia beriman semua, Islam semua, berpikir wasathy semua, atau bahkan pro Habib Riziq semua. 

Urusan minum kopi saja, ada yang suka tanpa gula, ada yang suka pake gula. Ada kaum yang suka kopi seduh, ada pula kaum yang suka kopi dimasak manual. Bahkan ada juga yang tidak suka kopi tapi nongkrong di tempat ngopi. Ini baru perihal ngopi yang tidak ada kaitannya dengan syariat, muamalat, atau pun teologi. Hal yang fitrah, lumrah, dan tidak perlu diperdebatkan selama ada alasannya. Toh celana saya panjang dan kamu jingkrang cuma urusan kain, taraweh saya 11 kamu 23 cuma beda angka, saya bersarung sementara kamu berjubah cuma beda jahitan, saya suka kamu dan kamu suka dia juga cuma urusan selera. Kenapa harus ribet?

Tapi masalahnya tidak semua orang siap dan sigap dalam menghadapi perbedaan. Ada orang yang keukeuh bahwa Tom selalu salah dan Jerry selalu benar. Dampaknya, teks buku di sekolah selalu menganggap bahwa makanan kucing adalah tikus. Seolah-olah tidak ada kesempatan bagi kucing untuk makan tulang atau tomiyah atau snack wiskas. Padahal seumur hidup saya belum pernah menemukan kucing nyambet tikus. Penyeragaman pemikiran inilah yang menjadi bahaya jika dibiarkan tumbuh dalam kepala setiap orang. Sebuah amsal yang yang menyebabkan matinya perspektif dan sudut pandang.

Mental yang tidak siap dengan perbedaan ini sangat mudah ditemukan. Dalam grup whatsapp misalnya, ada anggota yang dikeluarkan adminnya karena keseringan ngiklan olshop. Ada juga grup jamaah tapi rasa japri. Yang chat itu-itu aja dengan pertanyaan pribadi yang gak penting untuk diketahui seluruh anggota grup. Gara-gara itu, left group. Padahal, kepemimpinan yang kita pelajari dari banyak sumber adalah bukan untuk menyeragamkan dan menyamakan semua orang, tapi justru menerima banyaknya perbedaan. Toh dalam teks Alqurannya saja lita'aarofuu.

Wajar jika di zaman ini banyak orang yang curinghak dan mudah nengok ketika melihat sesuatu yang berbeda. Apa salahnya berbeda? Kata orang gila, dia tidak gila tapi hanya berbeda. Sah-sah saja hidup ini penuh dengan perspektif dan tafsiran. Misalnya, mengapa kita tidak terbuka dengan orang yang berasumsi bahwa Ahok tidak menghina Islam? Bahkan sekalipun kita ingin mencerna asumsi itu, sebelum benar-benar dicerna, kita sudah dicap pro Ahok, antek Ahok, atau lebih ganas lagi disebut membela penista Alquran. Ngeri sedapp.

Ada juga yang belum tahu masalah dan belum mengeluarkan kata sedikit pun, tapi langsung dicap. Kaya Syeikh Amr Wardani kemarin. Baru nyampe ke Indonesia, baru sehari langsung balik lagi ke Cairo karena katanya dikecam karena akan membela dan meringankan hukuman Ahok. Harusnya kita klarifikasi dulu, bener gak guru kita itu ke Indonesia untuk kasus Ahok? Siapa tahu kan dia ke Jakarta mau jajan kerak telor atau beli sate maranggi atau mungkin ikut tour Heaven On Earth bareng qorteng alias qori ganteng Fatih Seferagic. Perjalanan Cairo-Jakarta itu jauh loh, capenya udah kaya hilang pantat sebelah. Cangkeul. Sumpah saya kesel banget sama orang yang ngebulak-balikin Syeikh Amr ke sana ke mari macam itu. Cukuplah perasaan aja yang kamu mainin, Syeikh mah jangan. Kalau saya jadi Mufti dan digituin, saya mah bakal jual bagasi dulu da sebelum berangkat. Lumayan kan PP CAI-CGK-CAI, siapa tahu ada yang beli bagasi, duitnya bisa nutupin harga tiket pesawat. Jadi gak rugi-rugi amat meskipun capek. Naasnya, Syeikh Amr belum melakukan apa-apa di Jakarta tapi fitnah sudah menyebar kemana-mana. Kerjaan orang-orang kurang talaqi nih. Katanya Syeikh Amr itu Mufti Darul Ifta anteknya Sisi, liberal, sekuler, dan sebagainya dan sebagainya. Bodohnya lagi, muncul meme-meme yang katanya mengundang ulama Mesir ke Jakarta sama dengan menghina eksistensi MUI, tapi pake foto Jokowi lagi salaman sama Syeikh Ahmad Thayyeb ketika kunjungan GSA februari lalu. Hadeuh umat. Gak kenal Syeikh Amr tapi bicara banyak tentangnya. Cuma tahu Mesir dari google tapi udah sok-sok an ngebahas politik Mesir. Sama kayak anak baru yang tadi sore saya temui di warung makan. Dia baru tiga bulan di Mesir, tapi udah sok-sok an bilang, belajar di sini jangan putus asa, harus semangat dan fokus kuliah jangan mikirin kerja dulu. Ngalamin rosib baru tau rasa lu ...

Kita tak selayaknya mudah tersulut dengan hal-hal yang berbeda di mata kita. Berpikir wasathy itu dalam tafsiran saya adalah menjadi asbak yang baik bagi semua orang yang menorehkan puntung rokoknya. Kamu tahu jomblo asbak kan? Cari tahu di tulisan saya sebelumnya. Budayakan klarifikasi, tabayyun, apalagi kalau kamu mahasiswa atau insan berpendidikan, tak selayaknya melayangkan opini tanpa data dan fakta. Di salah satu grup WA yang saya ikuti, seorang gadis mengatakan "izin share, ustadz anu meninggal dalam demo 4/11". Seorang lain bertanya, kata siapa? udah tabayyun? lalu dia jawab, ini dari grup sebelah, yang ngesharenya dosen aku kok. Yaelah bro, dosen juga manusia, apa lagi kalau dosennya cowok yang tabiaatnya cowok selalu salah.    

Panji Sakti dalam lagunya bilang, "Maka aku jatuh cinta, bukan karena banyak sama tapi justru karena beda." Sama halnya seperti saya dan almamater saya. Kita bersatu dalam satu naungan tapi dengan banyak perspektif. Hanya karena Emil sering nongkrong di Persis, ia disebut Persis. Hanya karena Ika ikut kajian di PCIM dan saya serumah dengan Pak Cecep, kami berdua disebut Muhammadiyah. Hanya karena Syifa suka ikut kegiatan di Fatayat, hanya ia yang dicap NU. Lalu Ira, adik kita semua, satu-satunya yang memakai niqab, ia aliran apa? Entahlah, mungkin aliran Niqabiyah Aduyiyah. *eh.....

Meskipun berbeda-beda, tapi kami saling mencintai satu sama lain. Saling mencintai dalam arti saling minjemin duit, saling jajanin makan, saling menceritakan kebaikan ke mudir pondok, saling bully, dan bahu membahu mempertahankan citra bahwa kami adalah aset bangsa yang sedang belajar sungguh-sungguh di Mesir. Yaa meskipun asatidz di pondok kami selalu husnudzonnya sama akhwat. Giliran saya dan Emil mah selalu di-suudzan-in. Kita mah apa atuh cuma Aziz dan Emil. Di dunia ini tidak ada yang ingin terlahir sebagai Aziz dan Emil.  "Ah Emil Aziz mah upload fotonya juga jalan-jalan mulu, gak ada belajar-belajarnya." Yaelah, masa iya kita harus unggah foto lagi solat, lagi tadarus, atau lagi sedekah ke gadis-gadis Mesir yang suka jualan tisu? Atau malem-malem bikin VLOG terus bilang, gaes... kita mau tahajud nih! 

Terakhir mari kita belajar untuk lebih bijak dalam menyikapi segala perbedaan yang ada di sekitar kita. Beda pikiran, beda pendapat, beda ijtihad, beda mazhab, beda tongkrongan, beda teman diskusi, beda apapun harus disikapi dengan bijak. Karena kita tidak tahu dalam beda yang mana Allah letakkan rahmatnya itu. Toh perempuan yang kita anggap cocok dan udah dimodusin sejak lama belum tentu jadi pasangan kawin, tapi perempuan yang gak dimodus sedikitpun gak menutup kemungkinan jadi teman hidup selamanya. wa ásaa an takrohuu syaiaan wahuwa khoirun lakum. Wa allahu a'lamu bi ash-shawab. 

Cairo, 15 November 2016. 




Komentar