Kelakar Tinggal di Amerika tapi Gak Mahir Berbahasa Inggris

Meski hidup berpuluh-puluh tahun di Amerika, ternyata banyak pendatang yang gak mahir berbahasa Inggris. Semangat untuk sukses di perantauan memang besar di kalangan perantau, tapi semangat untuk belajar adalah hal yang lain. Ada kalanya saya heran ketika ngobrol dengan bapak-bapak atau ibu-ibu yang sudah puluhan tahun tinggal di Amerika, tapi kok bahasa Inggrisnya biasa saja. Padahal eksposur terhadap bahasa Inggris sangatlah tinggi. Dari sesederhana disapa orang di jalan, slogan dan petunjuk arah di tempat umum, sampai hal-hal yang kompleks seperti ketersediaan buku, media, tontonan, sampai komunitas-komunitas akademik, semuanya serba bahasa Inggris dan sangat mungkin untuk bisa diakses. Tapi kalau dipikir-pikir, orang Indo yang tinggal di Indo berpuluh-puluh tahun pun tidak ada garansi mereka bisa mahir berbahasa Indonesia. Entah bahasa lisannya atau tulisannya, gak jarang kita temui orang-orang Indonesia yang belibet dan sulit dimengerti ketika berkomunikasi dengan bahasanya sendir

Betapa ribetnya orang Amerika soal makanan


Salah satu yang baru saya sadari tentang orang-orang Amerika adalah bahwa mereka, ternyata, punya tubuh yang ringkih sekali. Ringkih dalam artian sangat rentan terhadap hal-hal yang bagi orang Indonesia biasa saja. Dalam perkara makanan, banyak orang Amerika yang alergi terhadap kacang, susu, gluten, telur, wijen, gandum, juga alergi polen bunga dan hal lainnya. Padahal di Indonesia, kita pada umumnya cuma alergi pada satu hal: daging babi dan alkohol. Itu pun kayanya bukan alergi karena kandungannya, tapi lebih karena alasan agama. Selain babi, alkohol, dan segala turunannya, sikat! 

Orang Indonesia gak akrab dengan istilah alergi. Kayanya hanya orang kaya yang punya istilah alergi di tubuhnya. Sesuai teori, makin nanjak kekayaan seseorang, imunitas tubuhnya makin turun. Mana ada orang kampung makan sate madura tanpa bumbu kacang karena alasan alergi? Yang ada malahan beli sate madura, satenya dikit tapi bumbu kacangnya minta banyak.

Bagi orang biasa-biasa kaya kita (atau lebih tepatnya kaya saya~), apapun bisa kita makan selama itu enak, halal, apalagi gratis. Makanya saya amat sangat heran ketika dalam suatu acara, orang Amerika pengen makan gado-gado tapi tanpa bumbu kacang. Ini kan bisa masuk kategori penistaan. Gado-gado tanpa bumbu kacang ya bukan gado-gado namanya, tapi salad rebus. Atau di lain acara, orang Amerika bertanya apakah rice cake di menu acara itu mengandung gluten? (Rice cake adalah nama keren dari Lontong). Demi Tuhan, saya gak tahu apa itu gluten! Saya cuma tahu pokoknya lontong itu dari beras dan rasanya enak kalau dipadukan dengan opor ayam.

Setiap kali ada acara di kedutaan dan ada sajian makannya, kita harus membuat tag nama-nama makanan Indonesia beserta deskripsinya. Tidak sampai di sana, kita juga harus mencantumkan kandungan alergen yang ada di makanan tersebut. Apakah mengandung telur, apakah mengandung kacang, apakah friendly vegan dan vegetarian. Untuk sesaat, kondisi ini sulit dicerna akal kampungku. Kenapa hidup dibuat sangat ribet meski hanya untuk perkara makan? Untuk muslim yang tinggal di Amerika, perkara makanan memang agak ribet karena harus pilih-pilih. Pasalnya, ada babi di mana-mana, dan ada daging-daging yang waktu disembelih kemungkinan sangat besar gak pake bismillah. Tapi kehadiran babi-babi ini cukup membuat kita jelas bahwa pantangan makan kita sebatas "bisa makan apapun asal bukan babi". Tapi ternyata, di Amerika ini ada yang lebih ribet dari kita yang anti-babi. Ada yang tiap mau beli makanan, ia harus baca dulu tabel kandungan gizinya, baca dulu komposisinya, nanya dulu alergennya, dan lain sebagainya. Sekalipun makanannya sudah bebas alergen, di pasar tumpah yang ada setiap hari minggu pagi di area Embassy Row, ada pedagang yang menjelaskan bahwa sayuran yang ia jual merupakan produk yang organik, tanpa pestisida, dan 100% mendukung sustainabilty. Karena ternyata, orang Amerika sekarang punya alergi jenis baru yang tidak lagi soal kandungan makanannya, tapi juga soal bagaimana makanan itu diproduksi. Apakah sayuran itu diproduksi dengan cara yang ramah lingkungan atau tidak, apakah proses produksinya melibatkan pemerasan tenaga hewan atau tidak, bahkan isu lebih jauhnya, mereka juga peduli apakah karyawan yang memproduksi suatu produk dibayar secara layak atau tidak.

Dalah salah satu episode The Endgame Gita Wirjawan, saya pernah nangkap bahwa biodiversitas yang ada di dunia ini tidak hanya perlu dijaga kehadirannya, tapi juga harus dihadirkan dalam tubuh kita. Tujuannya supaya sistem imun dalam tubuh kita juga punya kekuatan biodiversitas. Makin beragam makanan yang kita konsumsi, makin akan kuat jadinya tubuh kita pada berbagai hal. 

Manusia pada awalnya pasti akan "alergi" ketika pertama kali mencoba makanan, minuman, atau zat apapun. Mungkin kita bisa ingat-ingat lagi kapan pertama kalinya lidah kita berkenalan dengan makanan pedas. Ketika itu mungkin lidah kita akan kepanasan, wajah kita akan memerah, atau mungkin juga kita menangis karena gak kuat. Tapi sekarang saat sudah sangat akrab dengan makanan pedas, makan seblak pun harus pakai cabe sebanyak mungkin dan sepedas mungkin, karena tubuh kita sudah terbiasa dengan itu. 

"Alergi" itu potensial akan selalu muncul di percobaan pertama. Tapi di percobaan kedua, ketiga, dan seterusnya, tubuh manusia akan membentuk sistem imunnya sendiri. Jika saya tidak salah teori, cara kerja vaksin pun demikian adanya. Virus yang sudah dilemahkan, dimasukkan ke dalam tubuh supaya tubuh bisa berkenalan dan membentuk sistem imun. Ketika virus yang tidak lemah tiba-tiba datang menyerang, tubuh sudah punya kontrol dan kenal bagaimana cara mengahadapinya.

Barangkali, perut orang Amerika sejak kecil tidak banyak diperkenalkan pada banyak hal oleh orang tuanya. Atau mungkin terlalu parno pada reaksi "alergi" percobaan pertama, sehingga tidak dilanjutkan dengan percobaan selanjutnya, sehingga keburu muncul sugesti "pokoknya gak mau makanan itu" di tubuhnya. 

Saya tidak punya saran apapun soal bagaimana cara menjadi manusia yang tidak alergian. Saya cuma mau bilang bahwa it's okay untuk menjalani seumur hidup tanpa pernah ngalamin makan babi. Tapi kalau harus makan gado-gado tanpa bumbu kacang, wait, WHAT??

19 Mei 2023.


Komentar