Khutbah Jumat - Empat Hal untuk Menggapai Kesempurnaan Puasa

Khutbah I Kesempurnaan Puasa شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْاٰنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِّنَ الْهُدٰى وَالْفُرْققَانِۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۗوَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخخَرَ ۗيُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ۖوَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللّٰهَ عَلٰى مَا هَدٰىكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ Hadirin rahimakumullah Puasa adalah salah satu upaya kita untuk menggapai ketakwaan. Setelah segala upaya kita dalam menjalankan puasa, mulai dari bangun sahur, menahan lapar dan dahaga, menahan nafsu, serta mengisi puasa ini dengan berbagai kerja-kerja kebaikan, kita sangat berharap bahwa puasa kita bisa berjalan dengan sempurna. Sempurna dalam waktunya: waktu imsaknya, waktu iftarnya, hari mulainya, juga hari lebarannya. Pun sempurna dalam pelaksanaannya.  Dalam kesempatan yang baik ini, khatib ingin bicara tentang kesempurnaan puasa dari segi pelaksanaanya. Ba

Tiga Kondisi Penghalang Ketakwaan - Khutbah Jumat



وَٱصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ  وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُۥ عَن ذِكْرِنَا وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ وَكَانَ أَمْرُهُۥ فُرُطًۭا 

Ada tiga penghalang ketakwaan yang tiga hal ini sering kali memalingkan seseorang dari tujuan-tujuan tinggi kehidupan, dari nilai-nilai tinggi agama. Tiga itu adalah kekayaan, kekuasaan, dan popularitas. Di dalam ayat 28 surah Al-Kahfi, Allah Swt. menyuruh kepada Rasulullah untuk menyabarkan diri dan hidup bergaul bersama para sahabat beliau, Ahlu Suffah, orang-orang miskin, orang-orang yang kesehariannya habis untuk agama, belajar agama, dan menyebarluaskan agama, tapi hatinya tawakal yakin pada Allah Swt. Para sahabat nabi Ahlu Suffah itu jumlahnya ratusan, yang di antara pentolannya adalah Abu Hurairah ra., sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis, di dalam ayat itu dipuji oleh Allah Swt sebagai

ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِٱلْغَدَوٰةِ وَٱلْعَشِىِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُۥ ۖ 

Orang-orang yang mengabdikan diri ibadah kepada Allah pagi dan siang hari, hanya mengharap Allah Swt. 

Ajaran Islam memang secara zahir lahiriyah tidak melarang kekayaan, tidak melarang kekuatan, juga tidak melarang popularitas. Tetapi kita harus melihat bahwa kondisi-kondisi yang paling membantu ketakwaan, yang paling membantu ketulusan, yang paling membantu menyambungkan hati kepada Allah, yang paling benar-benar menyadarkan kita tentang hamba yang tidak ada apa-apanya, tidak berdaya, tidak ada apa-apanya kecuali diberi kemampuan oleh Allah, adalah kondisi-kondisi yang sebaliknya dari tiga hal tadi. Dalam salah satu hadis riwayat Imam Muslim. 

Pada suatu hari ketika Rasulullah berkumpul dengan para sahabat, ada seseorang yang lewat di jalan lalu Rasulullah bertanya pada seorang sahabat yang berada di sampingnya. 
“Maa ro’yuka fii haza? Apa pendapatmu tentang orang yang lewat itu?” 
Sahabat itu menjawab, “Dia orang hebat, mulia, agung, dia ini kalau melamar perempuan mana saja pasti diterima, pasti langsung dinikahi. Dia ini kalau meminta tolong ke orang lain, pasti lebih mudah dipenuhi permintaannya, dia ini hebat, Ya Rasulullah. 

Lalu setelah orang ini lewat, lewat lagi seseorang yang lain dan Rasulullah bertanya lagi pada sahabat ini, “Maa ro’yuka fii haza? Apa pendapatmu tentang orang yang lewat itu?” 
Kata sahabat ini, “Oh, Ya Rasulallah, ini orang hina, orang bukan siapa-siapa. Kalau dia ngelamar perempuan pasti ditolak, kalau dia minta tolong, gak mungkin ada orang yang mau memperhatikan permintaannya.” 

Lalu apa kata Rasulullah? Rasulullah membalik logika sahabat itu. Kalau kata sahabat itu orang pertama karena penampilannya hebat dianggap orang hebat, dan orang yang kedua dianggap hina karena penampilannya hina, kata Rasulullah, “Yang kedua ini bisa jadi lebih baik bahkan berkali lipat lebih baik dari orang yang pertama.”
 Rasulullah mengajarkan kepada sahabat ini dan kepada kita bahwa ketakwaan justru seringkali muncul dalam kondisi kelemahan, dalam kondisi kehinaan. Di dalam riwayat lain yang muttafaq alaih, Rasulullah bersabda, 

ألا أُخْبِركم بأهل الجنة؟ كلُّ ضعيفٍ مُتَضَعَّفٍ، لو أقسم على الله لَأَبَرَّهُ، 

Penduduk surga adalah orang yang lemah, orang yang diperlemah atau diperlakukan lemah, dianggap lemah, tetapi kalau dia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan mewujudkan sumpah dan doa-doanya. 

ألا أُخْبِركم بأهل النار؟ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ

Siapakah penduduk neraka? Kata Rasulullah, adalah setiap orang yang sombong, orang yang kasar, orang yang merasa lebih hebat daripada orang lain.
Hadis-hadis seperti ini oleh Imam Nawawi dirangkum sedemikian rupa lalu dikategorikan sebagai Bab Keutamaan Dhoifatul Muslimin wal Khoomilin, bahwa orang-orang yang lemah, tidak populer, tidak berdaya, justru di hadapan Allah punya kelebihan tersendiri. Di antara kelebihannya adalah bahwa kondisi lemah, itu lebih mudah untuk diikuti oleh batin yang lemah, dan batin batin yang lemah itulah kehambaan. Ketika kita merasa tidak mampu, tidak berdaya, merasa tidak berdaya, justru itulah esensi hakikat kehambaan. Dan tiga sifat itu (merasa tidak mampu, merasa lemah, merasa bukan siapa-siapa) sulit muncul ketika kita punya kekayaan, kekuasaan, dan popularitas.

Tentu hadis-hadis Rasulullah ini bukan menyuruh kita miskin, tak berdaya, atau tidak punya nilai dan popularitas. Tetapi yang pertama hikmah dari hadis-hadis ini untuk selalu berprasangka baik kepada kaum muslimin lain, yang mungkin, menurut zahir kita anggap lemah, tak berdaya, dan bukan siapa-siapa. Boleh jadi justru orang-orang seperti itulah yang bernilai di hadapan Allah swt. 

Maka seorang yang bertakwa tidak akan pernah meremehkan orang lain hanya karena orang lain remeh secara zahir. Justru ketakwaannya akan mendorong dia betapa utamanya, betapa unggunya orang ini di hadapan Allah. Kalau bicara hisaban, dia lebih sedikit hisabnya. Kalau bicara hati, mungkin dia lebih bersih hatinya. 

Yang kedua, kalaupun sesekali dalam beberapa kesempatan hidup, kita mengalami ketidakmampuan, ketidakberdayaan, kelemahan, keterasingan, gak punya nama, gak punya pamor, kondisi itu tidak akan merusak ketakwaan kita karena justru dalam kondisi seperti itu kita bisa merapikan isi hati kita, isi pikiran kita, untuk benar-benar menjadi hamba.

Mudah-mudahan Allah karuniakan kerendahan hati dan prasangka baik kepada kita. Jika kita sekarang dalam kondisi berada, kuat, dan populer, pastikan hati kita sebaliknya dari kondisi itu karena hati seorang hamba bukan seperti itu sifatnya.

(Khutbah Jumat di KBRI Washington, D.C., 8 September 2023) 

Komentar