Review Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

Untuk pembaca yang belum tahu kengerian masa Orde Baru, novel ini bisa jadi intro yang baik. Laut Bercerita adalah novel fiksi sejarah yang epik dan mengharukan. Novel ini mengambil latar di Indonesia pada akhir 90-an, masa yang ditandai dengan represi politik, perlawanan, dan gejolak sosial. Ceritanya berfokus pada tokoh Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa yang menentang rezim otoriter Soeharto, bersama kelompok teman-temannya yang terlibat dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia. Melalui pengalaman Laut, novel ini mengeksplorasi tema-tema pengorbanan, keluarga, ketangguhan, dan dampak traumatis dari penganiayaan politik. Di bagian awal, Chudori secara singkat sudah memberi klu tentang apa yang hendak diceritakan dalam novel ini. Tulisnya, kepada mereka yang dihilangkan dan tetap hidup selamanya . Kalimat singkat ini, buat saya pribadi, seperti sebuah aba-aba untuk bersiap-siap bahwa apa yang akan dibaca kemudian adalah kisah kengerian-kengerian yang dihadapi para tokohnya. Dan ke

Yahudi, Rumah, dan Musim Dingin di Amerika


Beberapa hari lalu ada seorang WNI yang sudah dua tahun tinggal di Amerika secara ilegal, ditangkap aparat dan dideportasi. Ia dulunya seorang awak kapal yang "mendarat", alias kabur dari kapal yang katanya, pekerjaan di kapal sangat penuh tekanan dan membosankan. Bekerja di kapal itu artinya berlayar berbulan-bulan, hidup banyak dihabiskan di tengah laut siang dan malam, sehingga keputusan untuk kabur ke darat adalah fenomena yang ternyata banyak dilakukan oleh Anak Buah Kapal (ABK) di Amerika.

Soal imigrasi dan perizinan tinggal, sebenarnya Amerika ini begitu longgar. Tidak seperti waktu saya tinggal di Cairo, di mana pemerintahnya sangat ketat dan menakutkan bagi orang-orang yang tidak punya izin tinggal. Adakalanya pemeriksaan dan razia secara acak dilakukan aparat, sehingga ke mana-mana harus bawa paspor dengan izin tinggal yang legal. Sementara di Amerika, ribuan bahkan mungkin jutaan imigran ilegal bisa tetap hidup dan bekerja dengan nyaman, tanpa pernah ada pemeriksaan legalitas dari aparat setempat.

Hal itu pula yang menjadi hal menarik ketika saya berkecimpung menjadi penyelenggara Pemilu tahun ini. Jumlah orang Indonesia di Amerika ini ada puluhan ribu, tapi yang terdata dan masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) hanya sepersekiannya saja. Sebab dari puluhan ribu itu tidak semuanya punya izin tinggal, bahkan tak sedikit yang sudah tidak punya paspor. Yang koar-koar mendukung Capres pilihannya sangatlah banyak dan bahkan lantang, tapi nyatanya tidak semuanya punya hak pilih karena alasan legalitasnya yang patut dipertanyakan.

Balik lagi ke WNI yang dideportasi tadi, katanya deportasi itu takkan pernah terjadi jika tak ada yang melaporkan. Usut punya usut, ia dilaporkan oleh tetangganya sendiri yang tinggal di lantai bawah apartemennya, lantaran ia tidak suka pada orang itu. Kemungkinan besar, katanya suka berisik dan ganggu tetangga. Entah karena suka main gitar-gitaran, karaokean, atau entah kegiatan apapun yang menghasilkan suara sampai mengganggu tetangga. Ganggu tetangga ternyata berpotensi diusir negara.

Saya tinggal serumah dengan orang Indonesia yang sudah hampir 30 tahun di Amerika. Katanya, orang-orang putih, apalagi mereka Yahudi, adalah orang-orang yang tidak begitu suka pada kehadiran imigran. Kita sebagai pendatang harus benar-benar jaga sikap pada tetangga, apalagi tetangganya adalah orang putih. Karena jika sekalinya mereka gak suka, mereka tak segan-segan akan melapor polisi atau imigrasi. Jika kita tidak punya izin tinggal, siap-siap aja ketika dilaporkan ke aparat akan berujung deportasi.

Ketidaksukaan orang putih pada imigran ini tercermin juga dari heterogenitas warga di suatu wilayah. Jika satu kompleks sudah banyak imigrannya, orang putih cenderung akan pindah rumah ke wilayah lain yang jauh dari keramaian orang-orang pendatang. Secara otomatis juga, harga rumah di suatu wilayah imigran tidak akan semahal rumah-rumah yang banyak dihuni orang-orang putih. Tuan rumah saya bilang, ciri-ciri perumahan mahal itu adalah ada banyak orang Yahudinya.

Tapi memang harus diakui, orang-orang Yahudi dan kebetulan orang-orang putih di negara ini rata-rata orang kaya. Secara ekonomi mereka menengah ke atas, dan secara politik mereka memegang banyak jabatan penting di berbagai sektor. Kalau baca hasil riset, orang Yahudi di Amerika ini berjumlah 2% dari populasi total, tapi mereka bisa menduduki 6% (33 orang) dari total kursi Kongres yang berjumlah 534 kursi, bahkan 9 dari 100 orang senator US adalah Yahudi. Sementara Muslim di Amerika berjumlah di kisaran 1,1% dari total populasi (3,45 juta jiwa), namun hanya 3 orang saja yang berhasil duduk di kursi Kongres, dan tidak satu pun anggota Senator beragama Islam. Makanya gak heran jika mereka dan Amerika mati-matian mendukung Israel, karena mereka punya sumber daya yang kuat. Baik dari dukungan ekonomi, maupun dukungan kebijakan pemerintah.

Sewaktu Thanksgiving pada Oktober lalu, saya diajak berkunjung dan makan malam di sebuah keluarga yang ternyata hampir semuanya Yahudi. Tidak ada yang aneh-aneh di acara makan malam itu, meskipun sebenarnya saya merasa gak enak hati ketika masuk pintu rumah itu, di depan terasnya ada bendera Israel berkibar. Di meja makan itu, tidak ada obrolan soal perang Israel, tapi di kulkas mereka ada beberapa foto yang ditempel magnet, yang katanya beberapa orang yang ada di foto itu adalah sepupu-sepupu yang saat ini tinggal di Israel, dan gak bisa pulang ke Amerika karena penerbangan sedang dibatasi. Ketika makan tiba, tuan rumahnya berbaik hati memotongkan saya kue yang berbeda dari kue yang ada di meja makan. Saya kira bakal diracun, ternyata kue yang dimakan bersama itu dibuat dengan wine, jadi ia gak ngasih saya potongan kue itu sejak mereka tahu bahwa saya muslim.

Salah satu yang menarik bagi saya, di rumah itu ada banyak sekali buku. Bahkan di toilet ada rak buku berisi beberapa majalah dan sebuah buku berjudul The Great American Bathroom Book. Sekilas saya baca buku itu dan isinya bagus juga. Buku ini semacam rangkuman dari buku-buku lain yang sudah populer dan berpengaruh. Saya jadi ingin punya buku itu, sebab setiap babnya bisa kita baca kurang dari lima menit. Artinya, setiap kali boker, wawasan kita jadi nambah. Keren juga.

Hal ini yang justru menurut saya menjadi satu motif kenapa ada stigma orang-orang Yahudi dan orang-orang Barat itu pinter-pinter dan berwawasan. Bukan karena soal genetika mereka yang terlahir dan tertakdirkan pinter, tapi usaha mereka untuk mengekspos diri pada banyak hal benar-benar patut ditiru. Sesimpel buang kotoran pun, sebisa mungkin, harus pakai proses barter ta* dengan informasi.

Anyway ...

Ketika tulisan ini dibuat, Washington, D.C. sedang musim dingin. Namun hari ini, untuk kali pertama sejak dua bulan terakhir, suhu udara menghangat menjadi 19 derajat celsius. Padahal minggu lalu, suhu di sini mencapat titik terdinginnya sampai -12 derajat celcius. Ketika minggu lalu hujan salju turun dari pagi sampai malam, tumpukan salju benar-benar menutupi permukaan kota. Dan dalam waktu tiga hari ini, saat suhu mulai naik dan hujan air kemarin turun, tumpukan salju itu mulai mencair di mana-mana. Hanya tersisa beberapa lapis saja yang masih nyempil di pinggiran trotoar, atap rumah, atau ranting pepohonan.

Musim dingin di DC memang lebih dingin dari musim dingin di Cairo, namun rasanya, saya lebih kedinginan di Cairo dibanding di DC. Pasalnya, infrastruktur di DC, dalam hal apapun, jauh lebih layak dibanding di Cairo. Waktu di Cairo, suhu terdingin yang pernah saya alami adalah 4 derajat. Tapi dibanding-12 di DC, 4 derajat di Cairo terasa sangat menyiksa. Tidak setiap rumah di Cairo punya sistem penghangat ruangan, ruangan kelas di kampus benar-benar ruangan yang jika tidak ingin dingin, cukup tutup jendela saja dengan ventilasi yang tetap terbuka. Begitu pun transportasi publik, masjid, museum, perpustakaan, kafe, sangat super jarang yang punya penghangat ruangan. Sehingga dalam banyak waktu, semua aktivitas benar-benar dilakukan dengan hanya mengandalkan kehangatan dari jaket dan pakaian tebal. Sementera di DC, sedingin apapun yang sejauh ini dialami, setebal apapun salju turun, di ruangan manapun ada sistem penghangat ruangannya. Di rumah, di kantor, di transportasi publik, di museum, di masjid, aktivitas apapun bisa dijalani dengan nyaman selama itu di dalam ruangan.

Saya ingat ketika dulu di Cairo pernah daftar membership gym yang kebetulan rumah saya berada satu lantai di atas tempat gym tersebut. Tujuannya bukan benar-benar mau olah raga atau membentuk otot, tapi biar bisa mandi air panas. Pada waktu itu, pemanas air listrik di rumah saya seringkali bermasalah. Kalau pun tidak bermasalah, kapasitas tangkinya terlalu kecil untuk dipakai penghuni rumah berjumlah 6 orang. Jika dipanaskan, bisa jadi hanya efektif untuk dipakai mandi tiga atau empat orang, lalu orang berikutnya gak kebagian air panas, sehingga harus menunggu setidaknya setengah jam lagi sampai air di tangki kembali panas.

Sementara di DC, tidak ada masalah semacam itu. Sampai saya pikir, mungkin contoh kecil seperti ini yang membedakan definisi taraf hidup negara maju dan negara berkembang. Apa yang di Cairo dianggap mewah dan istimewa, semisal rumah dengan penghangat ruangan, ternyata adalah hal yang biasa saja di Amerika.

Dari peristiwa ABK dideportasi, harga rumah yang mahal, sampai strategi menghadapi musim dingin adalah hal-hal yang akhir-akhir ini terjadi di pikiran saya. Saya merasa "bertanggung jawab" untuk menuliskan hal-hal tersebut, setidaknya sebagai sebuah dokumentasi, meskipun secara garis besar tidak ada benang merah yang menautkannya satu sama lain.

Terima kasih sudah membaca.

26 Januari 2024.


Komentar