Barangkali saya adalah pembaca yang cukup menyesal kenapa baru sekarang membaca novel "The Alchemist", sebuah karya sastra oleh Paulo Coelho yang lebih dari kata layak untuk dibaca dan dinikmati. Novel ini telah memikat hati jutaan pembaca di seluruh dunia dengan kisah inspiratif dan penuh makna filosofis. Bahkan ulasan ini pun bukanlah hal yang baru, mengingat ada banyak orang yang sudah lebih dulu membuat ulasan tentang novel yang luar biasa fenomenal ini.
Tapi sebagai bentuk apresiasi, tidak ada salahnya jika saya turut berpandangan soal novel ini, dari kaca mata pembaca yang baru berkenalan dengan tulisan Paulo Coelho.
The Alchemist bercerita tentang perjalanan seorang gembala muda asal Spanyol bernama Santiago untuk menemukan harta karun di Mesir. Dalam perjalanannya, ia mengalami berbagai hal, petualangan seru, dan bertemu banyak tokoh yang masing-masing memberikan pelajaran hidup baginya. Bahkan sebenarnya, menurut saya, pelajaran hidup itulah yang sesungguhnya menjadi harta karun yang sesungguhnya didapatkan oleh Santiago.
Novel ini punya banyak sisipan pesan filosofi hidup yang inspiratif. Barangkali terdengar klise dan jamak terbaca tentang kisah perjalanan hidup menggapai cita-cita, namun keklisean ini, barangkali, adalah hal yang baru ketika novel ini pertama kali ditulis pada tahun 1988 lalu. Melalu narasi dan plotnya, Coelho banyak menuturkan bagaimana tokoh utamanya punya keinginan yang kuat dalam menjalani takdirnya sendiri, juga penekanan pada pentingnya mendengarkan suara hati ketika mengejar apa yang benar-benar diinginkan dalam hidup.
Sebagai sebuah karya prosa, novel ini disajikan dengan bahasa yang puitis namun juga sederhana. Mungkin istilah yang tepatnya adalah "Poetic Banal", bahasa sehari-hari yang sederhana namun terasa puitis. Paulo Coelho menggunakan gaya bahasa yang mudah diakses oleh berbagai kalangan pembaca. Gaya penulisannya yang penuh dengan simbolisme dan metafora membuat pembaca merenungkan makna yang lebih dalam dari setiap kejadian dalam cerita. Meskipun, penyajian yang puitis ini sebenarnya sangat bergantung pada bahasa yang digunakan. Saya membaca novel ini dalam versi terjemahan bahasa Indonesia. Sehingga asumsi saya, apakah memang dalam versi aslinya novel ini memang punya gaya bahasa yang sederhana dan puitis, atau mungkin versi terjemahannya terasa sederhana dan puitis karena terjadi proses alih bahasa oleh penerjemah yang handal dalam memainkan gaya bahasa.
Dari sisi spiritual, kisah dalam novel ini cukup sarat akan pesan-pesan spiritual. Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan hubungan manusia dengan alam semesta, dan keyakinan bahwa segala sesuatu terjadi karena suatu alasan.
Ketika saya membaca novel ini, sempat terbesit pikiran soal konsep mindfulness, alias tentang kesadaran penuh terhadap momen saat ini. Lesatan pikiran ini muncul ketika menyaksikan perjalanan Santiago yang sejak awal diajarkan untuk memperhatikan tanda-tanda dan petunjuk dari alam semesta. Misal, ketika ia bermimpi tentang harta karun di piramida Mesir, dia tidak mengabaikannya sebagai mimpi biasa tetapi memerhatikannya sebagai tanda yang penting. Dalam proses pencariannya, Santiago belajar untuk hidup dengan lebih sadar, menghargai momen saat ini, dan tidak tergesa-gesa menuju tujuan akhirnya. Selama perjalanan pun, Santiago sering kali terlibat dalam momen-momen reflektif seperti merenungkan makna mimpinya, tujuannya dalam hidup, dan pengalaman yang dia alami. Proses refleksi inilah, yang menurut saya, merupakan inti dari praktik mindfulness yang secara tersirat terbaca dari novel ini.
Di samping segala kelebihan yang tadi disebutkan, novel ini tentu tidak lepas dari beberapa kekurangan yang menurut saya membuat novel ini kurang greget. Misalnya dari pengembangan karakter yang terlalu terbatas dan kurang kompleks, membuat pembaca tidak bisa mengenal cukup dekat dengan tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh yang ditemui Santiago di sepanjang perjalanan sering kali berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan atau pelajaran tertentu, bukan sebagai karakter yang kompleks dengan perkembangan emosional yang mendalam. Hal ini seolah-olah mempertegas bahwa tokoh-tokoh selain Santiago benar-benar hadir hanya sebagai figuran yang tidak diberi kesempatan untuk menjadi tokoh yang utuh untuk dikenali. Karakter seperti Raja Salem, Alkemis, atau si pemilik kristal — meskipun menarik dalam peran mereka masing-masing — cenderung tidak memiliki kedalaman emosional atau latar belakang yang cukup untuk menjadikan mereka lebih dari sekadar simbol atau arketipe.
Di sisi lain, sosok Alkemis digambarkan terlalu sempurna dan serba tahu. Ia hadir dalam cerita sebagai sosok mentor yang bijaksana, tetapi kurang memiliki sifat manusiawi yang membuatnya bisa dipahami sebagai karakter yang utuh. Sepanjang membaca dan menganalisis cerita ini, saya terus menebak-nebak, apakah Alkemis ini adalah seorang nabi, malaikat, hantu, manusia setengah dewa, atau apa? Alkemis tidak menunjukkan keraguan, kelemahan, atau kesalahan yang bisa membuat pembaca merasa lebih terhubung dengannya secara emosional. Keberadaannya lebih seperti guru spiritual dengan peran yang sangat jelas dalam menyampaikan ajaran tertentu kepada Santiago.
Dalam aspek lain, novel ini punya plot yang sederhana, atau malah terlalu sederhana dan bisa ditebak. Tidak banyak plot twist dan efek kejut yang membuat pembaca merasa deg-degan untuk menebak apa yang ada di bab berikutnya. Di satu sisi, kesederhanaan cerita ini menjadi satu kelebihan yang membuat pembaca menjadi lebih ingat akan alur yang disampaikan. Tapi di sisi lain, kesederhanaan ini menjadi satu kekurangan yang barangkali tidak cocok untuk pembaca yang berekspektasi akan jenis cerita yang kompleks dan penuh kejutan.
Dari sisi penyajian dan sisipan pesan moralnya, novel ini punya banyak sekali pesan-pesan filosofis yang terlalu didaktis. Kelihatan sekali bahwa Coelho sedang memaksaan diri untuk menyampaikan pesan tertentu dalam narasi yang disajikan. Alih-alih merasa terinspirasi, kadang kala pembaca merasa sedang diceramahi dan digurui. Terkadang, pesan-pesan yang ingin disampaikan terasa terlalu jelas dan eksplisit, terutama di bagian-bagian akhir novel, sehingga kurang memberikan ruang bagi interpretasi pembaca.
Terlepas dari kekurangan yang ada, novel ini tetap layak untuk dibaca dan dijadikan referensi oleh banyak orang. Bahkan jika saya menjadi guru di sekolah pun, saya akan merekomendasikan novel ini untuk dibaca anak-anak sekolah, sebagai contoh baik bagaimana sebuah karya sastra bisa disajikan dengan sederhana namun tetap istimewa.
Selamat membaca ;)
Komentar
Posting Komentar