“Kamu bakal kangen gak sama Kairo?” Tanya Mike sambil menyodorkan secangkir kopi buatannya.
“Iya. Kapan lagi ada teman baik yang nawarin dan bikinin kopi di tempat sebagus ini.” Jawabku.
Pemandangan Kairo malam hari memang bukan main. Dari sudut balkon lantai delapan belas, kamu bisa menyaksikan panjang sungai nil dengan deretan lampu-lampu di kedua sisinya. Ada perahu warna-warni, cahaya lampu kendaraan macet berdempet, sorak soray penonton bola di kafe-kafe, muda-mudi di bangku pinggir sungai, dan jauh di atas gedung-gedung pusat kota, ada bulan menggantung menatapku begitu syahdu. Akankah bulan yang sama akan kembali kutatap dari sudut yang sama suatu hari nanti?
Menikmati minggu-minggu terakhir di Kairo rasanya seperti melakukan perpisahan tanpa perayaan. Tidak ada batas jelas kapan aku harus ikhlas tegas mengatakan bahwa kalimat panjang harus segera menemukan titiknya. Ada jutaan ingatan yang kutitipkan di setiap jengkal sudut kota ini. Dari pintu kedatangan bandara sampai pelosok bangku gereja sekalipun, Kairo dan Mesir tidak hanya menjelma sebagai sebuah bagian peta, tapi petualangan panjang yang tak pernah terimajinasikan sebelumnya.
Sejak kelas satu MTs aku mulai meminta soal Mesir untuk alasan yang entah apa. Bukan spesifik karena Azharnya, bukan pula karena romansa-romansa Ayat-Ayat Cinta. Mesir di masa itu hanya nampak sebagai dunia yang aku harus hidup di dalamnya. Tak lebih. Maka doa panjangku bukan lagi soal “Ya Allah pengen ke Mesir!”, tapi sudah pada detail-detail kecil semisal “di Mesir nanti kalo aku punya hutang ke temen, semoga bisa cepet ngelunasin.”, atau “semoga ketika gak punya duit nanti gak sampe kelaperan-kelaperan amat.” Seoptimis itu. Mungkin cuma lupa doa soal asmara aja, jadi pengalaman asmaraku di Mesir gak asik-asik amat untuk diceritakan.
Aku jadi ingat momen dua minggu sebelum pergi ke Mesir, bertahun-tahun lalu, menelepon pacarku dan bilang bahwa aku mau pamitan akan pindah ke Kairo. Tentu saja ia tak percaya, meskipun ia bilang, hatinya selalu percaya bahwa perpisahan semacam ini pasti akan terjadi. Hal yang sama juga kuutarakan ke Farid, sampai satu kalimatnya keluar dan masih kuingat: Ibaratnya kamu itu binatang liar. Bandung adalah kebun binatang dan Kairo adalah hutan belantara. Mungkin memang akan lebih baik jika kamu belajar hidup di sana.
Meninggalkan Bandung waktu itu adalah keputusan yang lumayan berat ketika aku sedang betah-betahnya tinggal di sana. Nonton teater di akhir pekan, nyari buku di Palasari, rapat senat sepulang kuliah, kulineran di CFD, jalan kaki di Braga, menjadi hal-hal yang melahirkan ragu: apakah hidup di Kairo akan menemukan keasikan semacam ini lagi?
Sampai akhirnya enam tahun berlalu, pertanyaan itu terjawab juga. Kairo tidak menghilangkan kesenangan, justru menghadirkan kesenangan lainnya. Kilatan ingatan berlalu lalang. Dari ingatan hari pertama keluar bandara gak ada yang jemput, kenalan pertama kali dengan Mujammil, perut dicubit melintir Syekh Ahmad karena hafalan gak lancar-lancar, jadi panitia SPA KPMJB, pertama kali dipeluk Syekh A’laa, tahun baruan di Puncak Sinai, lihat natijah dan rosib, desak-desakan antri visa, pertama kali talaqi, tiduran di rumput Dimyat karena gak dapet penginapan, senyum Syekh Fathi, dapet kocokan Temus, putus asa ujian Nushush, ngedumel gaji Atdik yang telat turun, kursus di AUC, nyasar di Asyut, COD Cutterme, setoran uang tiket, sunset di Luxor, lari pagi di pinggir Nile, dan kenangan lainnya yang membuatku berhenti sejenak, menatap diri sendiri dan bilang: kamu sudah melewati banyak hal dengan cukup baik untuk dirimu sendiri.
Lalu sekarang, kenangan-kenangan itu harus kupertegas sebagai ingatan yang harus dirapikan tanpa penyesalan. Dan itulah bagian tersulitnya.
Maka aku mulai melogikakan semuanya, agar perpisahan ini tidak lagi terasa seperti kepergian tanpa perayaan. Hidupku di kota ini sudah bukan lagi perjalanan yang menantang, tapi berubah jadi zona nyaman yang menjebak. Seperti kata Dee, seindah apapun huruf terukir takkan bermakna apa-apa tanpa jeda, tak berarti tanpa spasi, dan takkan ada gerak tanpa jarak. Jeda, spasi, dan jarak itu harus diciptakan, salah satunya dengan meninggalkan kota ini, Kairo.
Maka ketika Mike menanyakan perkara kota ini kepadaku, aku melemparkan tanya lain: setelah sekian kenangan kulakukan bersamamu, akankah kau merinduiku, Kairo?
Minggu-minggu terakhir ini tak banyak hal yang ingin dilakukan selain mengingat-ngingat siapa saja yang dihutangi dan siapa saja yang punya piutang, mendata barang-barang apa saja yang sekiranya bisa dijual dan memblock junior-junior yang tiba-tiba sok akrab dan minta barang warisan gratisan. Enak aja pengen lemari gratisan. Noh liat warga negeri tetangga di Facebook, panci berkarat aja dia duitin, masa lemari masih bagus gini diminta gratisan. Kapan aku kayanya?
Selain list barang, kayanya gak banyak kegiatanku. Hanya ketemu orang-orang yang ngajak ketemu, selebihnya rebahan, main laptop, nyari info lowongan mantu online, dan apply. Siapa tau ada panggilan wawancara calon mertua. Ya kan?
Pertanyaanku satu aja sih, dari sekian banyak Cutterme yang kubuat buat orang-orang yang perpisahan, aku sendiri bakal dapet Cutterme gak sih? Masa bikin kenang-kenangan sendiri?
Jadi tolong lah ya .....
24 Sept 2020.
Baca juga:
- Nasehat untuk Maba dari Kakak yang Udah Dua Kali Rosib
- Guru Bimbel, membantu najah atau mempercepat nikah?
- Jika Masisir menikah dengan non-masisir
- Seni menangani jamaah haji nyasar
- Kenapa Masisir suka pencitraan?
- Surat cinta untuk Adek yang gak lolos seleksi ke Mesir
Komentar
Posting Komentar